REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah belum melakukan pengendalian terhadap konsumsi plastik kemasan di dalam negeri, terlebih adanya kebijakan mewajibkan minyak goreng kemasan tahun depan. Cukai plastik hanya berlaku pada kantong plastik, sedangkan plastik kemasan dianggap belum tepat untuk dicukaikan saat ini.
Deputi I Komisi Pemantau Plastik Ramah Lingkungan Indonesia Adrie Charviandi mengatakan, penerapan cukai plastik kemasan sebagai jalur alternatif pengendalian sampah belum tepat bila dilaksanakan saat ini. Alasannya, masih banyak perlawanan dari sektor usaha apabila plastik kemasan dicukaikan.
“Nanti pada waktunya (plastik kemasan dicukaikan). Saat ini waktunya masih belum tepat,” kata Adrie saat dihubungi Republika, Selasa (8/10).
Seperti diketahui, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mewajibkan peredaran minyak goreng di pasaran baik di sektor ritel maupun tradisional berbentuk kemasan di tahun depan.
Pertimbangannya yakni karena minyak goreng curah yang beredar saat ini cenderung tak sehat karena bahan bakunya berasal dari minyak bekas pakai di restoran-restoran. Selain itu, produsen dan pelaku usaha minyak goreng curah juga kerap memanipulasi harga dan takaran minyak di pasaran.
Terkait minyak goreng kemasan, Adrie menyebut hal itu secara hukum memang dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi kesehatan dan kehalalan. Hanya saja, kata dia, skema besar setelah suksesi penerapan produk plastik ramah lingkungan yang sedang diperjuangkan saat ini nantinya akan berkembang ke beberapa produk lainnya, termasuk plastik kemasan.
“Begitu pula dalam penerapan cukainya,” ujarnya.
Dia juga menegaskan bahwa penggunaan plastik kemasan terutama yang berbahan tebal pada produk-produk krusial masih relevan untuk saat ini. Sebab plastik berbahan tebal itu dinilai mampu menjaga kualitas mutu isi produk. Sedangkan kemampuan serupa untuk plastik ramah lingkungan belum tentu dapat mengimbangi.
Sebagai gantinya, pengendalian limbah plastik perlu dilakukan secara masif sedari hulu. Yakni, lanjutnya, melalui pemilahan sampah rumah tangga dari setiap individu yang mana membutuhkan intervensi dari pemerintah, produsen, hingga media.
“Kalau cukai plastik kemasan itu masih jauh sekali (dicanangkan), minimal kita benahi dulu dari hulu. Perlu edukasi yang komprehensif,” ujarnya.
Saat ini pembahasan cukai masih berkutat pada kantong plastik. Pembahasan ini dilakukan pemerintah dengan rencana penetapan kantong plastik sebagai barang kena cukai (BKC). Dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI, beberapa waktu lalu, pemerintah membeberkan skema serta rencana tarid yang akan diterapkan.
Adapun pengenaan cukai sebesar 100 persen akan dikenakan kepada kantong plastik berjenis polyethylene dan polypropilene yang dapat terurai dalam kurun waktu 100 tahun. Pengenaan tarif cukainya akan diukur dari tingkat kesulitan penguraiannya. Untuk plastik yang paling sulit diurai akan dikenakan maksimal tarif Rp 200 per lembar atau Rp 30 ribu per kilogram (kg).
Sedangkan mengacu pada catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terdapat 9,85 miliar lembar sampah berupa kantong plastik setiap tahunnya. Jumlah tersebut berasal dari berbagai tempat yang salah satunya berasal dari ritel modern yang berjumlah 90 ribu gerai di seluruh Indonesia.
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Manusia, Iptek, dan Budaya Maritim, Kemenko Kemaritiman Safri Burhanudin menyampaikan bahwa pemerintah berkomitmen mengendalikan pencemaran sampah plastik di lingkungan. Pihaknya menyebut telah melakukan berbagai koordinasi dengan sejumlah lembaga dan kementerian guna menyingkronkan program yang pro terhadap lingkungan.