Rabu 09 Oct 2019 17:33 WIB

Jejak Malcolm, Aktivis Segregasi Rasial ke Integrasi Sosial

Pola pikir segregasi rasial Malcolm X mulai berubah ketika mengunjungi Makkah

Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Foto langka Malcolm X bersama Putra Mahkota Pangeran Arab Saudi Faisal Al-Saud di Jeddah pada April, 1964.
Foto: Arab News
Foto langka Malcolm X bersama Putra Mahkota Pangeran Arab Saudi Faisal Al-Saud di Jeddah pada April, 1964.

Malcolm X ialah seorang Muslim Afro-Amerika juga aktivis Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat, Malcolm konsisten membela hak-hak sipil warga kulit hitam yang mengalami tindakan diskriminatif dari kulit putih.

Wacana keharmonisan dan kedamaian yang selama ini di kampanyekan oleh Amerika Serikat ialah satu hipokritis, karena realitanya kekerasan yang berujung pada kematian menimpa kulit hitam selama kurun waktu 400 tahun. Sikap sukuisme atau primordialisme menjadi alasan prinsipil untuk mengiyakan tindakan rasisme itu.

Fase awal kehidupannya dibawah tekanan. Masa belianya sangatlah suram, ancaman dan teror menghantuinya. Ayahnya terbunuh, Ibunya dikirim ke panti jiwa, ia dipisahkan dari anggota keluarganya. 

Sikap represif suku kulit putih atas dirinya dan keluarganya membentuk watak seorang Malcolm belia dan itu yang menjadikannya membenci suku kulit putih. Masuk usia remaja, Malcolm semakin sensitif terhadap kulit putih. 

Sensifitasnya di ekspresikan dengan cara merampas, merampok, dan mencuri harta kekayaan orang-orang kaya dari suku kulit putih. Ini dilakukan atas dasar latar belakang kehidupannya. 

Karena tindakannya itu seorang Malcolm masuk penjara, ia di hukum 8-10 tahun kurungan. Status sebagai seorang Muslim ia dapatkan dipenjara. 

Ia menerima doktrin-doktrin Nation of Islam, organisasi keagamaan yang mendukung kemandirian, kebebasan, kemerdekaan suku kulit hitam. Adalah Eiljah Muhammad sebagai pimpinan tertinggi yang membuat Malcolm menyatakan diri siap bergabung dengan Nation of Islam. 

Sehabis masa tahanan, Malcolm terjun langsung di organisasi keagamaan ini. Setiap khotbah di kuil-kuil ia aktif mengkampanyekan pemikiran-pemikiran Nation of Islam,  menyerukan bahwa kulit hitam mesti keluar dari zona kebodohan, pembebasan bangsa Afro-Amerika dari perbudakan kulit putih harus sesegera mungkin, kemandirian sektor ekonomi, sosial, politik yang harus dicapai dan menstigmakan setiap suku kulit putih adalah setan. 

Ia menjadi orator agamawan pembenci suku kulit putih. Malcolm menyatakan diri mendukung segregasi rasial, supremasi kulit hitam dan membolehkan tindakan rasisme pada kulit putih.

Ia menegaskan bahwa rasisme pada kulit putih ialah hal yang lumrah dan segregasi rasial ialah jawaban bagi kaumnya atas 400 tahun tindakan diskriminatif kulit putih, yang selama ini merampas hak, kebebasan, kemerdekaan kulit hitam di Amerika. 

Seiring waktu ia menjadi singa podium dan sosok sentral di Nation of Islam, suaranya didengar, perintahnya dilaksanakan. Ini membentuk kekhawatiran bagi Eiljah karena Malcolm bisa menggeser posisi penting Eiljah di Nation of Islam. 

Konflik antara Eiljah dengan Malcolm terjadi, klimaksnya saat pernyataan pers Malcolm yang dinilai tidak sesuai dengan kehendak organisasi, akhirnya ia pun diberikan sanksi oleh Eiljah berupa larangan berbicara di depan umum selama 90 hari.

Selama masa sanksinya Malcolm lebih memilih untuk keluar dari organisasi, alasan kuatnya adalah karena tafsir keagamaan Nation of Islam yang cenderung kaku dan eksklusif. Lalu  ia mendirikan Muslim Mosque sebagai wadah baru untuk memperjuangkan hak-hak sipil kulit hitam dan menyatakan bahwa Muslim Mosque fleksibel dan terbuka bagi kulit putih. Ia meyakini bahwa pendekatan organisasi barunya sebagai pemecah masalah ras di Amerika.

Tidak lama setelah mendirikan organisasi barunya Malcolm pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Selama di Mekkah ia menemukan semua warna kulit berinteraksi satu sama lain. 

Lalu ia menyikapi bahwa tidak semua kulit putih adalah setan. Ia melihat ada yang kontras dengan apa yang selama ini Nation of Islam kampanyekan di Amerika.

Mekkah membuka cakrawala pemikirannya tentang persatuan antar etnis. Sikapnya dahulu yang mengiyakan tindakan segregasi rasial berubah. 

Perubahan pandangan Malcolm berasal dari realitas kehidupannya. Dari sosok pembenci kulit putih menjadi sosok yang siap bersatu dengan kulit putih. 

Dari fase-fase kehidupannya lah ia belajar dan memahami arti persatuan antar ras, karena paham segregasi rasial yang selama ini ia kampanyekan bukanlah pemecah masalah untuk kulit hitam. 

Bermuara dari perjalanan ibadahnya selama di Mekkah, ketika di Amerika ia membawa pesan damai, bahwa rasialisme, segregasi antara kulit hitam dengan kulit putih, tindakan rasisme dan ekstrimisme bukanlah solusi untuk mencapai pemenuhan hak, kesetaraan etnis, kebebasan dan kemerdekaan kulit hitam. 

Di Muslim Mosque ia aktif mengkampanyekan bahwa sikap sukuisme yang masih tinggi adalah hambatan untuk mencapai persatuan. Sebagai jawaban atas permasalahan yang terjadi adalah perlunya integrasi sosial, persatuan antar ras, kesetaraan hak  dan moderasi paham keagamaan.

Lawan politik Malcolm yang berada di organisasi lamanya Nation of Islam mendengar dan mengamati ada perubahan dan perbedaan paham pada diri Malcolm. 

Sikap Malcolm yang berubah dari sosok pendukung segregasi rasial  ke sosok yang lebih mementingkan integrasi sosial ialah suatu ancaman. Nation of Islam menganggap perbedaan paham itu harus di ekspresikan dengan cara teror dan pembunuhan. 

Malcolm diteror lalu dibunuh diatas mimbar saat ia mengkampanyekan pentingnya integrasi sosial kaumnya dengan kulit putih sebagai jawaban permasalahan rasial yang menimpa kulit hitam selama ini.

Perbedaan bukan media pengkotak-kotakan tapi sebagai sarana persatuan, sebagai bangsa yang multietnis guyub dalam kemajemukkan akan merawat keutuhan Indonesia. 

Pendekatan humanis yang dilakukan dalam menyikapi perbedaan ialah substansi menjadi manusia. Di Indonesia selain gagasan-gagasan KH Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, dan tokoh-tokoh ternama lain, ide-ide Malcolm sangat relevan dan perlu dikontekstualisasikan kedalam kehidupan bermasyarakat untuk mencapai tujuan negara.

Pengirim: Faiz Romzi Ahmad

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement