REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ratusan pencakar langit di Shibam rentan terhadap angin, hujan, erosi, panas, hingga rayap. Karena itu, lapisan luar bangunan harus terus dilapisi lumpur baru dan batu kapur agar tidak retak atau runtuh. Kondisi inilah yang menjadi alasan sejumlah warga memilih pergi dan mencari hunian yang lebih modern.
Pada 2008 banyak fondasi bangunan di Shibam yang rusak parah akibat banjir. Ditambah, serangan gencar dari Alqaidah pada 2009 sehingga kota kecil berpenduduk sekitar 7.000 jiwa ini nyaris lumpuh. Hal ini sangat disayangkan, mengingat Shibam sangatlah unik. Bangunan pencakar langit dari bata lumpur di kota ini nyaris tak ada duanya di dunia. Tak heran, kota masuk dalam daftar situs warisan dunia versi UNESCO.
Terdata, setidaknya 444 bangunan di Shibam rentan runtuh. Dalam beberapa tahun terakhir, ada dua me nara runtuh dan 15 lainnya perlu se gera diperbaiki. Terabaikannya sistem irigasi pertanian, sistem sanitasi yang kurang memadai, sistem pasokan air bersih yang tidak tertangani baik, malafungsi sistem drainase, juga perubahan pengelolaan pengadaan pangan membuat kota ini perlahan-lahan rusak.
Shibam sangat istimewa dan indah. Namun, saya juga khawatir akan menjadi generasi terakhir yang menghargai keindahan kota ini, kata Kepala Asosiasi Pelestarian Kota Bersejarah di Yaman, Salim Rubiah. Organisasi Perlindungan Kota Bersejarah Yaman (Gophcy) yang didirikan pada 1990 fokus mengelola dan menjaga situs-situs bersejarah di Yaman.
Sejak 2000, kantor cabang Gophcy di Shibam bekerja sama dengan Giz Jerman menjalankan program perbaikan kondisi fisik, sosial, dan ekonomi di kota tua itu. Program ini juga menyentuh soal peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Program ini berhasil merehabilitasi dan mempertahankan 98 persen rumah tradisional di Shibam. Program ini juga berhasil merehabilitasi lebih dari 60 persen rumah tradisional milik perorangan di sana.
Meski begitu, Gopchy masih butuh dukungan, perlengkapan, dan peningkatan kapasitas agar pengelolaan kota tua yang mereka lakukan bisa terus berlanjut. Rencana pengelolaan Shibam yang berkelanjutan masih diper siapkan dan akan menjadi strategi untuk merevitalisasi dan menjaga semua aset arkeologis di sana.
Sayangnya, keberadaan Shibam masih terancam akibat perang saudara di Yaman yang membuat banyak bangunan bersejarah di dalamnya yang rusak. UNESCO misalnya, menyebut konflik itu tak cuma menyusahkan manusia, tapi juga mengancam warisan budaya di Yaman yang jadi identitas masyarakat, sejarah, sekaligus bukti atas pencapaian gemilang peradaban Islam pada masa lalu.
Menurut UNESCO, menghancurkan warisan sejarah dan budaya sama saja menghancurkan warisan budaya seluruh manusia. Bukan hanya Shibam, ancaman hilangnya situs arkeologi juga terjadi di Kota Marib. Kota ini merupakan tempat berdirinya kerajaan yang dipimpin Ratu Sheba pada abad ke-10 SM.
Menurut Prof Abdullah Abu al- Ghaith dari Sana'a University, kota ini merupakan pusat politik, agama, dan ekonomi yang diakui dunia, bahkan menjadi pusat peradaban. Al-Ghaith menggambarkan kota ini sebagai keajaiban kedelapan dunia.
Sana'a, ibu kota Yaman, juga merupakan salah satu kota tertua yang dilindungi UNESCO. Di sana, banyak situs kuno yang hancur akibat perang saudara yang tak kunjung berakhir. Beberapa blok kota tua Sana'a kini hanya berbentuk puing dan reruntuhan tak berbentuk.
Meski UNESCO telah memasukkan beberapa kota di Yaman sebagai situs bersejarah, Kastil Kairo, Kastil Al-Qahira di Taizz ataupun museum di Dhamar nyatanya telah lama menjadi target penyerangan.
Kami khawatir tentang politisasi warisan dan militerisasi arkeologi selama konflik, kata Direktur Institut Budaya Yaman untuk Warisan dan Seni, Sama'a al-Hamdani. Kita harus menjaga warisan Yaman dan melindunginya dari pihakpihak yang berniat melakukan penghancuran.''