Sabtu 19 Oct 2019 17:05 WIB

Pola Tanam dan Panen Setiap Hari Persulit Penghitungan Data

Pemetaan wilayah produksi beras harus dilakukan secara valid.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolanda
Petani memilah bulir padi yang masih bisa dipanen di area persawahan Pattallassang yang terdampak kekeringan, Gowa, Sulawesi Selatan, Senin (22/7/2019).
Foto: Antara/Arnas Padda
Petani memilah bulir padi yang masih bisa dipanen di area persawahan Pattallassang yang terdampak kekeringan, Gowa, Sulawesi Selatan, Senin (22/7/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pola penanaman padi yang diterapkan pemerintah saat ini dinilai memiliki kelemahan dari sisi penghitungan produksi. Mekanisme tanam yang tidak serempak dan secara terus menerus agar panen tidak putus membuat penghitungan potensi luas tanam dan panen secara total sukar untuk dihitung.

Direktur Pusat Riset Pangan Berkelanjutan, Universitas Padjajaran, Ronnie Natawidjaja, mengatakan, hal itu menjadi kekurangan atas dampak dari kebijakan pola pertanaman di Indonesia. Meskipun, pemerintah telah menetapkan Kerangka Sampel Area (KSA) sebagai metode penghitungan produksi beras, penanaman yang tidak serempak tetap menjadi pekerjaan yang berat.

Baca Juga

"Kondisinya berbeda dengan dulu karena sekarang tanam tidak serempak. Di satu tempat panen, di sebelahnya tanam. Jadi data tidak akurat dan berapa sebetulnya angka produksinya," kata Ronnie kepada Republika.co.id, Sabtu (19/10).

Ronnie mengakui produksi beras secara nasional saat ini memang sudah melebihi dari rata-rata kebutuhan nasional yang sebesar 30 juta per tahun. Namun, meski surplus pemetaan wilayah produksi harus dilakukan secara valid. Sebab, dengan musim tanam dan panen yang berbeda bakal membuat daerah yang surplus maupun defisit beras jadi lebih beragam. Oleh sebab itu, detail data daerah harus tersedia dan bukan hanya sebatas total produksi nasional.

Hal itu perlu diantisipasi dengan distribusi beras antar wilayah yang lebih teratur. "Jadi, pendataan yang akurat tentang penanaman dan produksi menjadi tantangan karena memang akhirnya sulit untuk mengestimasi kebutuhan dan pemenuhan beras di daerah," katanya.

Berbeda dengan pola tanam sebelumnya yang dilakukan secara serentan dan diatur dengan jadwal pengairan, pemerintah dengan pola tanam saat ini harus memastikan ketersediaan air. Terutama saat musim kemarau saat daerah yang bersangkutan sudah harus melakukan penanaman.

Sebagai antisipasi ketersediaan beras pada awal 2020 (Januari-Maret), pemerintah harus mulai melakukan pemetaraan dan jadwal panen saat ini agar data di daerah dapat terekam dengan baik. Konektivitas distribusi beras antar kabupaten dan kota harus terjalin dengan melibatkan Perum Bulog sebagai stabilitator harga.

Lebih lanjut, Ronnie mengatakan, kalaupun produksi diperkirakan bakal lebih kecil atau berisiko membuat harga naik, opsi impor mesti ditentukan sejak dini. Belajar dari tahun-tahun sebelumnya, keputusan impor yang dibuat mendadak tidak menyeleasikan persoalan beras. Sebab, pasokan beras impor masuk disaat musim panen dalam negeri sudah tiba dan berimbas pada anjloknya harga gabah petani.  

Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman dalam setiap kesempatan berpendapat bahwa pola tanam saat ini sudah tepat. Sebab, produksi beras bisa didapatkan secara terus menerus sehingga meminimalisasikan masa paceklik yang kerap datang ketika musim tanam dan panen digelar serentak.

"Fondasi saat ini sudah bagus. Gudang Bulog juga sudah penuh. Ini menandakan aman," katanya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement