Tak bisa dimungkiri, ketika Joko Anwar mempromosikan film horor terbarunya, Perempuan Tanah Jahanam (2019), para pencinta film tanah air langsung terasosiasi ke film horor fenomenal Joko Anwar sebelumnya, Pengabdi Setan (2017). Keduanya sama-sama mengambil latar belakang daerah terasing, sama-sama menggunakan tema ilmu hitam, sama-sama dibintangi si cantik Tara Basro, bahkan title font yang digunakan untuk poster film pun hampir sama.
Hal ini membuat Joko Anwar harus menegaskan bahwa kedua film tersebut adalah dua film yang jauh berbeda, baik dari sisi gaya maupun perasaan. Dalam sebuah wawancara, sineas kelahiran 3 Januari 1976 ini mengatakan, Perempuan Tanah Jahanam akan lebih menggedor jantung ketimbang Pengabdi Setan. Bahkan Joko Anwar menilai Pengabdi Setan lebih baik dan ramah ke penonton, sedangkan Perempuan Tanah Jahanam sukses membuat para produsen ketakutan hingga masuk ke “kulitnya”.
Joko Anwar ternyata benar-benar membuktikan ucapannya pada karya yang dihasilkan. Perempuan Tanah Jahanam merupakan film horor yang berbeda jauh dari Pengabdi Setan. Lagipula Pengabdi Setan adalah pembuatan ulang (remake) dari film tahun 1980 dengan judul yang sama, sedangkan Perempuan Tanah Jahanam benar-benar asli dari mimpi dan pemikiran seorang Joko Anwar.
Terkait ketakutan hingga ke "kulitnya", entah apakah yang dimaksud Joko Anwar adalah makna harafiah atau makna kiasan. Pasalnya film ini memang mengambil latar belakang masyarakat desa yang penduduknya terkena kutukan jahanam, dimana para bayi terlahir tanpa kulit.
Melalui Perempuan Tanah Jahanam, Joko Anwar nampaknya ingin membagikan filosofi dan definisi kata “horor” menurut dirinya sendiri. Jujur saja, apabila Anda memiliki definisi horor seperti Pengabdi Setan, yang menunjukkan sisi gaib dan mistis dan membuat bulu kuduk meriding karena seram, maka bisa jadi Anda akan kecewa.
Pasalnya, selama sekitar 60 menit pertama film, Anda tidak akan berjumpa dengan hal-hal mistis. Paling-paling hanya bayangan tiga anak kecil yang mungkin juga bisa terlewat karena cepatnya. Sementara sisanya hanya praduga-praduga yang ternyata tidak ada apa-apa, seperti sosok ibu-ibu yang ternyata hanya penjaga toko, sosok bayangan yang ternyata hanya teman dari Maya (Tara Basro), Dini (Marissa Anita) yang menggunakan kain panjang, atau manekin yang jatuh karena angin.
Baca Juga: Digantung Terbalik, Pembuluh Darah Wajah Tara Basro Pecah
Jika Anda termasuk dari 117.001 orang yang sudah menonton film ini di hari perdana pemutaran, Kamis (17/10) seperti yang diklaim Joko Anwar dalam akun Twitter @jokoanwar, bisa jadi Anda akan bertanya-tanya, “setannya di mana?”.
Setannya memang baru muncul setelah setengah bagian dari film ini berjalan, atau bahkan mungkin sepertiga akhir film. Jadi kalaupun ada ketegangan hingga dua pertiga film, maka itu hanya berasal dari efek suara dan lagu-lagu tradisional yang memang ditata dengan sempurna.
"Horor Thriller"
Perempuan Tanah Jahanam lebih menunjukkan horor ke arah sadis dan membuat penontonnya merasa jijik. Barangkali subgenre yang tepat untuk film ini adalah horor thriller. bukan supernatural horor seperti di Pengabdi Setan dan kebanyakan film horor Indonesia pada umumnya. Bayangkan saja, baru di adegan awal saja, kita akan melihat Maya nyaris dibacok, dihajar hingga pingsan, hingga darah mengalir dari pahanya.
Lebih dari setengah film ini memang lebih menunjukkan sisi sadis, seperti adegan dimana Dini digorok hidup-hidup hingga kulitnya dijemur untuk dijadikan wayang, atau bayi yang lahir tanpa kulit dan harus direndam hidup-hidup. Setannya sendiri dalam wujud tiga anak kecil hanya muncul untuk memberi petunjuk kepada Maya bagaimana cara melepas kutukan Desa Harjosari.
Baca Juga: Ini Alasan Joko Anwar Membuat Tagar Bubarkan KPI
Jadi jangan harap ada adegan kejar-kejaran si cantik dengan setan atau adegan tarung untuk membasmi setan, seperti layaknya film horor Indonesia pada umumnya. Horor yang berbentuk mistis justru baru kembali diperlihatkan pada bagian akhir yang memang dibuat cliffhanger atau menggantung, seolah-olah warga Harjosari tetap terkutuk (jahanam). Agak aneh mengingat selama sekitar 100 menit film berlangsung, kita mencari setannya kemana-mana dan baru muncul di menit terakhir.
Hal-hal nyeleneh nan unik dalam film ini juga terlihat kala Tara Basro dan Marissa Anita merokok, sosok Christine Hakim yang tampil ala Mak Lampir, hingga Ario Bayu yang fasih berbahasa Jawa. Ario sendiri sebelumnya sudah fasih berbahasa Jawa di film Sultan Agung (2018).
Barangkali film ini merupakan gambaran horor Joko Anwar terhadap perkembangan rakyat sekitarnya selama 10 tahun terakhir. Bagaimana masyarakat rela melakukan apa saja termasuk yang tidak masuk akal demi bertahan hidup, bagaimana tetua atau orang yang dianggap sebagai pemimpin bisa mempengaruhi rakyatnya termasuk untuk melakukan hal yang tidak benar, hingga bagaimana memaafkan seperti yang ditunjukkan Ratih (Asmara Abigail) ternyata adalah solusi dari segala-galanya.
Terlepas dari itu, aspek sinematografi yang dikemas oleh Ical Tanjung (pemenang Piala Citra untuk Pengabdi Setan dan May, 2008) bisa dianggap sebagai salah satu keunggulan dari film ini. Hal ini tak terlepas dari penggunaan berbagai lokasi di film ini, termasuk pengambilan gambar di beberapa daerah terpencil seperti Gempol, Ijen, dan hutan-hutan belantara. Penggunaan berbagai lokasi yang bervariasi ini juga mendukung intensitas ketegangan dalam film.
BACA JUGA: Cek OPINI, Opini Terkini Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.
Editor: Farid R Iskandar