REPUBLIKA.CO.ID, Salah satu tradisi walimah atau resepsi nikah di masyarakat itu para undangan memberikan amplop berisi uang kepada kedua mempelai atau keluarganya sebagai tanda rasa syukur atas resepsi, walimah, atau hajatan tersebut.
Menurut fikih, apakah pihak keluarga yang sedang melakukan resepsi itu harus membayar setiap amplop yang diterimanya ataukah itu sebagai sedekah saja?
Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI, Oni Syahroni, menjelaskan persoalan ini dalam penjelasannya sebagai berikut:
Pertama, amplop hajatan itu harus diperjelas. Apakah maksud undangan yang hadir dan memberikan uang tersebut adalah pemberian atau hibah sebagai tanda rasa syukur dan gembira atas walimah dan resepsi tersebut? Ataukah, itu menjadi pinjaman yang harus dibayar oleh shahibul bait sebagai tradisi yang berlaku di masyarakat?
Kedua, maksud amplop hajatan tersebut perlu dilihat juga dari tradisi masyarakat. Sebab, tidak ada maksud tertulis dari pemberian tersebut, apakah utang atau hibah. Misalnya, di beberapa desa ada tradisi di mana jika shahibul bait atau shahibul hajat mengundang seseorang untuk menghadiri hajatan dan mem berikan amplop berisi uang, maka uang tersebut adalah pinjaman atau utang yang harus dibayarkan shahibul bait pada saat si pemberi itu hajatan kelak.
Tradisi ini, walaupun tak terucap dan tak tertulis, bersifat mengikat dan dipahami sebagai pinjaman. Sebagaimana kaidah fikih yang menegaskan, "Sesuatu yang sudah men jadi tradisi ('urf) itu seperti disyaratkan." Maksudnya, sesuatu yang sudah menjadi kelaziman dan tradisi di masyarakat itu, seperti menjadi syarat yang harus dipenuhi.
Contoh lain, tradisi yang terjadi di perkotaan. Setiap yang hadir me menuhi undangan dan memberi kan sejumlah uang atau barang sebagai pemberian dan hibah bukan utang piutang. Dengan demikian, pem berian tersebut bukan sebagai utang, melainkan sebagai pem be rian biasa yang tidak wajib untuk dibayar.
Ketiga, dalam adab-adab ber walimah, setiap Muslim dan Muslimah punya kewajiban untuk memenuhi undangan, termasuk ikut bergembira atas walimah hajatan yang diselenggarakan oleh saudaranya. Salah satu ungkapan kesyukuran tersebut itu bermacam-macam. Di antaranya, selain hadir, juga memberikan sejumlah uang kepada yang bersangkutan sebagai bantuan dan sejenisnya.
Oleh karena itu, pemberian uang kepada yang berhajat atau walimah tersebut pada prinsipnya sebagai hadiah pemberian biasa, bukan hutang piutang. Kecuali jika ada 'urf atau tradisi sebaliknya, maka sebagai pinjaman dan dicatat sebagai pinjaman.
Sebagaimana firman Allah SWT, "Hai orang-orang yang beriman, apa bila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang pe nulis di antara kamu menuliskan nya dengan benar." (QS al-Baqarah: 282).
Karena sebagai pinjaman, harus dilunasi sesuai dengan pokok pinjaman tanpa disyaratkan kelebihan atau manfaat karena berstatus se ba gai pinjaman transaksi sosial (qardul hasan).
Keempat, mempertimbangkan aspek regulasi atau hukum positif terkait dengan kebolehan untuk menerima uang tertentu. Misalnya, ketentuan tentang gratifikasi dan sejenisnya agar tetap taat hukum.
Dengan demikian, pemberian uang tersebut itu adalah hadiah bukan utang piutang yang harus dibayar. Kecuali ada tradisi masyarakat yang dipahami secara tegas bahwa itu adalah pinjaman, maka harus dicatat dan dibayar sesuai dengan pokok pinjamannya.
Dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, khususnya terkait dengan pejabat dan sejenisnya agar aspek syariah dan hukum bisa ditunaikan berjalan seiringan.