REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Nusa Tenggara Barat (NTB), terutama Pulau Lombok, dikenal sebagai destinasi pariwisata halal atau halal tourism. Terobosan ini dicetuskan Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi pada 2015 saat menjadi Gubernur NTB.
TGB menyampaikan kehadiran pariwisata halal terbukti memperluas segmentasi pariwisata NTB yang sebelumnya hanya pada pariwisata konvensional. Hal ini disampaikan TGB dalam Internasional Confrence On Halal Innovation, Engineering, and Science (ICOHTES) di Hotel Sahid Montana II, Kota Malang, Jawa Timur, Rabu (30/10).
TGB menjelaskan pengembangan pariwisata halal memerlukan dukungan kuat dari keinginan pemerintah setempat atau political will.
"Bila keinginan politik ini berjalan, maka bisa seperti di Korea Selatan yang menghadirkan pariwisata nyaman bagi travelers Muslim. Dari masjid hingga restoran membuat nyaman wisatawan Muslim. Ini belum dijumpai di Indonesia," ujar TGB dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id di Jakarta, Rabu (30/10).
Doktor ahli tafsir Alquran ini meyakini beberapa tahun ke depan Indonesia menjadi acuan ketika bicara industri halal. "Pariwisata halal tak akan mengganggu wisata konvensional yang telah ada," ucap dia.
TGB membagi cerita asal mula NTB khususnya Pulau Lombok dikenal dengan wisata halalnya. Kata TGB, semua bermula pada 2014, saat dia berjumpa Menteri Pariwisata Arief Yahya.
Kemudian menteri pariwisata mengajukan pertanyaan: “Berani atau tidak Pulau Lombok mendeklarasi diri sebagai destinasi halal?” Sebelumnya oleh Arief Yahya pertanyaan ini sudah ditanyakan ke banyak gubernur, hanya saja para gubernur belum ada yang sanggup. "Saya jawab, NTB akan mendeklarasikan diri sebagai destinasi halal," kata Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Wathan tersebut.
Selanjutnya, kata TGB, dia mulai mengumpulkan jajarannya di Pemprov NTB, lalu mencari acuan terkait dengan pariwisata halal. Setelah mencoba menelusuri berbagai sumber, dia pada kesimpulan bahwa belum ada acuan mengenai wisata halal. "Baru mulai untuk berjalan, dengan konsep yang disusun. Afirmatif action," lanjutnya.
TGB mengurai, ketika ide wisata halal ini disampaikan ke pelaku pariwisata, ada beberapa keluhan seperti mengenai sertifikasi halal di mana timbul persepsi keberadaan pariwisata halal akan memperbesar biaya produksi. TGB memahami urusan pariwisata tidak bisa dilepaskan dari hitung-hitungan produksi.
"Akhirnya urusan sertifikasi halal ini diambil alih oleh daerah. Kami berjumpa dengan BPPOM dan MUI, kemudian daerah memberikan uang sekian miliar untuk mendukung sertifikasi halal," sambungnya.
TGB menyebut, langkah wisata halal ini menunjukkan Islam rahmatan lil alamin. Menjadikannya sebagai subjek kebijakan, bukan pada ranah mahdoh. "Ibadah mahdoh ini urusan privat, jadi seperti urusan salat atau mengaji tidak saya masukkan dalam kebijakan. Kita sedang menghadirkan Islam yang kemanfaatannya dirasakan. Termasuk pula mengkonversi Bank NTB menjadi bank syariah," ungkap TGB.
TGB menilai cara ini bagian dari menghadirkan Islam di ruang publik yang diprioritaskan dan memberikan manfaat kepada seluruh masyarakat, baik Muslim dan non-Muslim.
TGB mengungkapkan, satu tahun setelah sertifikasi selesai, pemilik restoran non-Muslim datang dan mengaku memiliki segmen pasar baru. "Memproses ini tak hanya sebagai bentuk pengembangan ekonomi. Ini satu medium untuk menghadirkan wajah Islam," kata TGB.
TGB mengatakan, setelah mendeklarasikan sebagai destinasi wisata halal, kunjungan wisatawan ke NTB naik hingga 190 persen dan memberikan kontribusi 70 persen dari segmen wisata halal.
Menurut TGB, pariwisata halal bukan hanya soal kesejahteraan, devisa, atau melahirkan ekonomi baru, melainkan melahirkan juga kesempatan mempromosikan Islam.
TGB menyebut, saat di beberapa negara banyak peperangan, destruksi berlangsung luar biasa. Dengan mengembangkan pariwisata halal, kata dia, membuka pintu Indonesia bagi pelancong Muslim untuk datang ke Indonesia.
"Mereka melihat wajah Islam Indonesia dengan derajat kemajemukan, dengan karakter keislaman wasathiyyah bisa menyatu dan nyaman sebagai bangsa," tambahnya.
Acara yang digelar UIN Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang ini menghadirkan pembicara asal Indonesia, Thailand, dan Malaysia di antaranya Prof Pakorn Priyakorn dari Thailand, Prof Nangkula Utaberta dari Malaysia.