Kamis 07 Nov 2019 09:40 WIB

Isu Keterjangkauan Pangan Masih Luput dari Perhatian

Ketahanan pangan bukan saja soal ketersediaan, tetapi juga mengenai keterjangkauannya

Harga beras. Ketahanan pangan tak melulu soal ketersediaan, namun juga keterjangkauannya.
Foto: Republika/Fauzi Ridwan
Harga beras. Ketahanan pangan tak melulu soal ketersediaan, namun juga keterjangkauannya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa A Amanta mengingatkan bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal ketersediaan. Kualitas dan keterjangkauan terhadap berbagai kalangan masyarakat di Tanah Air juga harus diperhatikan.

"Isu keterjangkauan masih sering luput dari perhatian saat kita membicarakan soal pangan," kata Felippa dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis.

Baca Juga

Felippa mengingatkan, berdasarkan penilaian Global Food Security Index (Indeks Ketahanan Pangan Global) 2018 dari The Economist Intelligence Unit, Indonesia berada di posisi 65 dari 113 negara. Menurut dia, bila diselidiki lebih dalam pada tiap indikator, Indonesia berada di posisi 58 untuk indikator ketersediaan, namun berada di posisi 63 untuk indikator keterjangkauan.

"Jelas masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan untuk meningkatkan ketahanan pangan kita, terutama dari segi keterjangkauan," katanya.

Felippa mengatakan, Kementerian Pertanian sering membanggakan pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) industri pertanian yang meningkat rata-rata 3,7 persen per tahun antara 2014-2018. Di lain sisi, ia mencermati, masyarakat kerap masih menghadapi harga pangan yang tidak bersahabat.

"Berdasarkan data dari Buletin Konsumsi Pangan Kementerian Pertanian 2019, pengeluaran untuk bahan makanan terus meningkat sebesar 10 persen sejak 2016 hingga 2018. Hal ini dapat diatribusikan ke dua faktor, yaitu peningkatan konsumsi masyarakat dan peningkatan harga," jelasnya.

Felippa berpendapat bahwa tingginya harga pangan Indonesia sangat merugikan, terutama bagi masyarakat miskin. Mereka bisa menghabiskan 50 persen hingga 70 persen dari pendapatannya hanya untuk membeli makanan.

"Besarnya proporsi pengeluaran untuk makanan membuat masyarakat sangat rentan terhadap lonjakan harga komoditas pangan sehingga memengaruhi pola konsumsi," ucapnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement