REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Mahkamah Agung India telah memutuskan menyerahkan kepemilikan situs suci Ayodhya yang berada di Negara Bagian Uttar Pradesh Utara kepada umat Hindu, Sabtu (9/11). Situs itu telah lama dipersengketakan umat Hindu dan Muslim di negara tersebut.
Dalam keputusannya, Mahkamah Agung India memberikan lima hektare tanah di situs alternatif di Ayodhya kepada umat Muslim. "Putusan itu tidak memuaskan, tapi kami menghormatinya. Kami akan berdiskusi dan kemudian memutuskan tindakan selanjutnya," ujar pengacara Dewan Wakaf Sunni Zafaryab Jilani, dikutip laman Aljazirah.
Wakil Rektor Universitas Hukum Nalsar Hydreabad Faizan Mustafa menilai, putusan hakim ini kontroversial. Dia tak menampik bahwa para hakim mencoba merumuskan keputusan yang seimbang.
"Tapi, pada akhirnya itu adalah misteri kepercayaan atas aturan hukum karena para hakim mengatakan bahwa kita tak dapat melakukan apa pun tentang kepercayaan Hindu dan jika mereka percaya bahwa Dewa Ram lahir di sini, kita harus menerimanya," kata Mustafa.
Setelah putusan, hakim India memang mengerahkan ribuan pasukan keamanan ke Ayodhya. Sekolah-sekolah di sana pun menghentikan sementara kegiatan belajar mengajar.
Perselisihan klaim atas situs suci Ayodhya telah terjadi selama puluhan tahun. Jika dirunut sejak awal, hal itu dapat dimulai pada 1528, yakni ketika Kaisar Mughal Babur membangun masjid di Ayodhya. Keterangan tersebut diperoleh dari dokumen-dokumen yang dimiliki kelompok-kelompok Muslim di sana.
Pada 1949, kelompok-kelompok Hindu di sana tiba-tiba meletakkan patung bayi Dewa Ram di area masjid. Mereka meyakini Dewa Ram lahir di sana. Kelompok Muslim kemudian menuding ada persekongkolan antara pejabat pemerintah dan biksu Hindu terkait peletakan patung tersebut.
Pada 1950, kelompok Hindu mengajukan gugatan ke pengadilan untuk menyembah patung Dewa Ram di dekat area Masjid Ayodhya. Kemudian pada 1986, pengadilan memerintahkan lokasi yang disengketakan dibuka agar umat Hindu dapat berdoa di sana.
Pada 1992, ribuan aktivis Hindu yang dipimpin partai Perdana Menteri Narendra Modi, Bharatiya Janata Party (BJP), merobohkan Masjid Ayodhya. Peristiwa itu segera diikuti dengan meletusnya konflik antara umat Muslim dan Hindu di India Utara dan India Barat. Lebih dari 2.000 orang diperkirakan tewas selama pertikaian berlangsung.
Partai nasionalis Hindu telah lama berkampanye tentang janji untuk mendukung pembangunan sebuah kuil Hindu di lokasi masjid yang dihancurkan. "Ini mungkin tampak hanya sebidang tanah tetapi bagi kami itu adalah tempat yang saleh di mana dewa kita dilahirkan," kata seorang pemimpin senior Hindu yang berafiliasi dengan partai Perdana Menteri Narendra Modi.
"Kami berharap pengadilan memutuskan mendukung umat Hindu," kata pemimpin itu, yang menolak disebutkan namanya karena sensitivitas masalah yang satu ini.
Pada 2010, pengadilan tinggi Allahabad di Uttar Pradesh memutuskan bahwa situs Masjid Ayodhya harus dibagi kepada tiga pihak utama dalam kasus ini. Setahun kemudian, Mahkamah Agung India tetap menjalankan perintah pengadilan tinggi.
Hal itu berlangsung hingga keputusan terbaru Mahkamah Agung India. Vonis yang mendukung pembangunan Kuil Ram di Ayodhya ini pun dipandang sebagai kemenangan politik bagi Modi, yang memenangkan masa jabatan kedua dalam pemilihan umum yang menang tahun ini.
Rashtriya Swayamsevak Sangh, organisasi induk dari partai Modi, telah memutuskan menentang perayaan jika putusan tersebut berpihak pada umat Hindu, untuk menghindari provokasi kekerasan sektarian.
Apa pun jalannya, keputusan pengadilan kemungkinan akan berdampak signifikan terhadap hubungan antara Hindu India dan Muslim yang merupakan 14 persen dari 1,3 miliar penduduk di India. Organisasi Muslim juga telah meminta agar tenang untuk mencegah gejolak komunal.
(reuters/ed: setyanavidita livikacansera)