REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta menyatakan mantan anggota Komisi VII DPR RI Markus Nari bersalah melakukan korupsi dalam proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik 2011-2012. Majelis Hakim menghukumnya dengan penjara selama enam tahun, dan denda Rp 300 juta atau tiga bulan kurungan.
Selain menghukum penjara, Majelis Hakim juga memerintahkan agar Markus Nari mengembalikan uang hasil korupsi senilai 400 ribu dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 4 miliar. “Menyatakan terdakwa Markus Nari telah terbukti secara sah dan meyakinkan, melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama,” begitu kata Ketua Majelis Hakim Franky Tambuwun saat membacakan vonis putusan dalam persidangan terbuka di PN Tipikor Jakarta, Senin (11/11).
Hukuman terhadap Markus Nari sebetulnya lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). JPU di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Majelis Hakim menghukum politikus Partai Golkar itu dengan penjara selama sembilan tahun, dan denda Rp 500 juta atau dikurung tambahan selama enam bulan.
Akan tetapi, dalam penjelasan vonis, Hakim Frangki membeberkan sejumlah faktor tak mengabulkan tuntutan dari JPU. Hakim Franky mengatakan, Majelis Hakim menilai kesopanan Markus Nari selama persidangan.
Hakim juga menilai Markus Nari tak pernah merasakan pidana sebelum berkasus dalam KTP-E. Kendati demikian, kata Hakim Frangki, ada sejumlah alasan pemberat mengapa enam tahun penjara menjadi pantas untuknya.
Pertama, Majelis Hakim menganggap Markus Nari berusaha merintangi sejumlah penyidikan terkait nama lain dalam kasus serupa. Majelis Hakim mengatakan, Markus Nari sebagai anggota DPR yang juga bertugas di Badan Anggaran, ikut membahas dan mengusulkan anggaran pengadaan KTP-E senilai RP 1,045 triliun.
Majelis hakim menilai Markus Nari menemui pejabat di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), yakni Irman, yang saat itu menjadi Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dirjen Dukcapil). Dalam pertemuan tersebut, Majelis Hakim meyakini sangkaan JPU KPK yang menyebutkan adanya permintaan komitmen fee sebagai perbuatan koruptif.
Terkait perbuatannya itu, JPU KPK dalam dakwaannya, menyebut Markus Nari melanggar Pasal 3 UU 31/1999 perubahan UU 20/2001 Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Dalam dakwaan kedua, JPU KPK mengatakan Markus Nari melanggar Pasal 21 UU Tipikor.
Majelis Hakim menilai sangkaan JPU KPK terbukti dalam persidangan. Terutama dalam perbuatan dalam dakwaan pertama terkait permintaan komitmen fee senilai 400 ribu dolar. Uang tersebut, kata Majelis Hakim, diberikan oleh mantan pejabat di Kemendagri, Sugiharto.
Majelis Hakim mengatakan, pengakuan Sugiharto saat menjadi saksi di persidangan Markus Nari, membenarkan pemberian uang tersebut. “Markus Nari menerima 400 ribu dolar Amerika atau senilai empat miliar rupiah, seperti diungkapkan oleh kesaksian Sugiharto pada saat persidangan,” kata Majelis Hakim.
Uang haram tersebut diyakini Majelis Hakim terbukti berasal dari Andi Agustinus alias Andi Narogong yang diyakini JPU KPK sebagai operator utama pemberian uang ke sejumlah politikus dari proyek KTP-E .
Dalam dakwaan lain, Majelis Hakim pun menilai Markus Nari terbukti menghalang-halangi pemeriksaan terhadap politikus Partai Golkar lainnya Miryam Haryani, yang juga menjadi anggota Komisi VII DPR. Andi Narogong, dan Miryam Haryani terdakwa lain dalam kasus KTP-E yang sudah divonis bersalah.
Hukuman terhadap dua nama tersebut sudah inkrah dengan hukuman pidana penjara selama 13 tahun, dan lima tahun. Tiga putusan PN Tipikor terhadap para terdakwa KTP-E tak ada yang di bawah lima tahun.