Selasa 12 Nov 2019 07:21 WIB
Jokowi Tampung Pilkada Langsung

Jokowi Tampung Usulan Pilkada tak Langsung

Jokowi Tampung Usulan Pilkada tak Langsung

Pilkada langsung (ilustrasi).
Pilkada langsung (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut Presiden Joko Widodo menampung usulan pengembalian proses pemilihan kepala daerah (pilkada) ke DPRD. Hal tersebut menyusul wacana yang diutarakan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang menilai tak semua daerah di Indonesia harus menjalani pilkada langsung.

Menurut Mahfud, usulan tersebut nantinya akan dibahas bersama. "Nanti dibahas semuanya, artinya semua ditampung dulu, semua ide ditampung. Posisi tadi kan KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang melapor. Kalau secara internal, nanti kita akan bicara," ujar Mahfud di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (11/11).

Dalam pertemuan antara jajaran komisioner KPU dan Presiden Jokowi kemarin pagi juga disinggung terkait usulan ini. Namun, usulan itu tidak dibahas secara mendalam. "Ada disinggung, tapi tidak dibahas," kata Mahfud lagi.

Ia mengatakan, pemerintah masih akan menunggu masukan dari berbagai pihak sebelum membahas usulan ini secara keseluruhan. "Pemerintah belum punya pendapat resmi, kami baru saling lempar ide. Jadi, belum dibahas dan belum ada kesimpulan tapi tentu akan dibahas."

Dikonfirmasi terpisah, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menyerahkan sistem penyelenggaraan pilkada pada pemerintah dan DPR yang membuat undang-undang. Menurut dia, pemerintah dan DPR memiliki kewenangan untuk mengevaluasi sistem pemilihan kepala daerah.

Kendati demikian, sesuai dengan undang-undang yang berlaku, menurut dia, pemilihan kepala daerah masih akan dilakukan secara langsung. Saat ini, helatan terdekat adalah pilkada serentak pada 2020 nanti. "Tapi, berpedoman pada UU yang berlaku, pemilihan masih dilakukan secara langsung. Nanti soal evaluasi sistem, (urusan) pembuat UU," kata Arief.

Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian mengungkapkan wacana revisi undang-undang pilkada. "Pertanyaan saya adalah, apakah sistem politik pemilu pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun? Banyak manfaatnya partisipasi demokrasi, tetapi kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi," kata dia, pekan lalu.

Ia mengungkapkan, seorang calon kepala daerah setidaknya harus memiliki uang sekitar Rp 30 Miliar. Ia juga mengaku tidak heran ketika ada kepala daerah yang tertangkap karena terbukti korupsi.

"Bayangin, dia mau jadi kepala daerah, mau jadi bupati, itu (modalnya) Rp 30 miliar, Rp 50 miliar. Gaji Rp 100 juta, taruhlah Rp 200 juta, kali lima tahun itu Rp 12 miliar, yang keluar Rp 30 M. Mau rugi, enggak? Apa benar saya ingin mengabdi kepada nusa dan bangsa terus rugi? Omong kosong, saya enggak percaya," kata Tito. Ia mengatakan, jajaran di Kemendagri akan melakukan riset akademis terkait dampak negatif dan positif pilkada langsung.

Pilkada asimetris

Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik mengakui, penentuan kepala daerah di sejumlah daerah sangat memungkinkan untuk dikembalikan ke DPRD. Namun, opsi itu tidak untuk Ibu Kota DKI Jakarta.

Menurut Akmal, politik di DKI sudah relatif maju. Namun, beberapa daerah yang memiliki kendala, seperti Papua dan wilayah kepulauan yang bisa memakan biaya pilkada besar, opsi tersebut tetap terbuka. "Bisa, enggak, pakai DPRD? Bisa saja. Why not? Sampai mereka siap," kata Akmal.

Menurut Akmal, Mendagri Tito menginginkan ada sistem pilkada yang asimetris. Dengan regulasi asimetris itu, artinya kebijakan yang diberlakukan tidak sama antara satu daerah dan daerah yang lain. "Mengapa? Kualitas demokrasi antara satu daerah dan daerah yang lain kan berbeda-beda," kata dia lagi.

Ia mengatakan, kebijakan asimetris ini menjadi salah satu solusi untuk mengurangi biaya politik pada saat pilkada. Sebab, Kemendagri telah melakukan evaluasi, seorang calon kepala daerah setidaknya harus mengalokasikan dana sekitar Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar, bahkan ada yang lebih dari itu.

"Itu mengapa Pak Menteri mengatakan mudaratnya. Itu kalau pilkada berbiaya tinggi banyak mudaratnya. Bukan kita mengatakan pilkada langsungnya yang salah, tetapi ada sistem yang membutuhkan biaya tinggi," ujar Akmal.

Pilkada yang secara langsung melibatkan pemilih di masing-masing daerah mulai diberlakukan di Indonesia pada 2005. Sebelum itu, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD.

Pilkada kemudian dimasukkan dalam rezim pemilihan umum melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Seiring rencana pelaksanaan pilkada serentak, kemudian diterbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Upaya mengembalikan kewenangan penunjukan kepala daerah ke DPRD sempat dilakukan pada September 2014 lalu. Saat itu, sebanyak 226 anggota DPR dari Fraksi Golkar, Fraksi PKS, Fraksi PAN, dan Fraksi Gerindra berhasil memenangkan pemungutan suara di sidang paripurna dan memasukkan klausul itu dalam revisi UU Pilkada.

Menyusul tekanan dan penolakan masyarakat atas regulasi itu, pada 2 Oktober 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Perppu Pilkada). "Perppu ini dikeluarkan untuk menghilangkan ketidakpastian hukum. Yang isinya menghapus wewenang DPRD untuk melaksanakan pilkada," ujar SBY saat itu.

Joko Widodo sebagai presiden terpilih kala itu mendukung rencana Presiden SBY mengeluarkan regulasi di akhir masa jabatannya tersebut. "Bagus. Kita sudah tahu semuanya, rakyat menghendaki pemilihan langsung karena hak politik mereka dihargai," kata dia.

Jokowi kala itu berharap, dengan diterbitkannya perppu tersebut, tradisi pemilihan langsung yang sudah berjalan selama sepuluh tahun dapat dilanjutkan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement