Jumat 15 Nov 2019 19:20 WIB

Kaya tapi Bersyukur atau Miskin Tetap Bersabar, Mana Utama?

Allah SWT menjadikan kaya agar tetap bersyukur.

Petugas menghitung uang pecahan dolar Amerika Serikat di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Petugas menghitung uang pecahan dolar Amerika Serikat di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  Lukman al-Hakim, ahli hikmah yang namanya diabadikan dalam Alquran, ditanya oleh putranya, ''Apa yang paling baik dimiliki oleh setiap orang?''

Beliau menjawab, ''Agama!''

Baca Juga

Sang anak kembali bertanya, ''Jika dua?''

''Agama dan harta.''

''Jika tiga?''

''Agama, harta, dan sifat malu.''

''Jika empat?''

''Agama, harta, sifat malu, dan akhlak yang baik.''

''Jika lima?''

''Agama, harta, sifat malu, akhlak yang baik, dan sifat dermawan.''

''Jika enam?''

Lukman berkata, ''Wahai anakku! Seandainya yang lima itu terkumpul pada seseorang, maka ia akan jadi orang yang bersih dan terpelihara ketakwaannya serta selamat dari godaan setan.''

Nasihat Luqman al-Hakim di atas mengungkapkan sisi ideal yang bisa mengangkat martabat kehidupan seseorang di tengah masyarakat, yaitu agama, harta, sifat malu, akhlak yang baik, dan sifat dermawan. Kelima hal tersebut perlu dimiliki oleh setiap orang.

Agama adalah kebutuhan hakiki dalam kehidupan manusia. Keberagamaan menjadikan kita memiliki kekuatan moral dan rohani sehingga mampu mengubah diri dan lingkungan kita.

Sementara itu, harta juga diperlukan dalam rangka menjaga kehormatan diri, menghindarkan diri dari meminta-minta, serta untuk dapat menunaikan kewajiban agama dengan sempurna. Sebuah ungkapan dalam syair Arab, ''Alangkah indahnya bila terkumpul agama dan dunia pada diri seseorang, dan alangkah malangnya bila terkumpul kekafiran dan kemiskinan pada diri seseorang.''

Dr Yusuf Al-Qardhawi dalam Fiqih Prioritas mengajukan pertanyaan menarik, ''Manakah yang lebih utama dan lebih banyak pahalanya, kaya tetapi bersyukur, ataukah miskin tetapi bersabar? Menurut Al-Qardhawi, kaya tetapi bersyukur adalah lebih utama dibanding miskin tetapi bersabar.

Namun demikian, dalam meraih harta dan kekayaan, kita harus punya kendali diri, yaitu sifat malu. Bagi seorang Muslim, yang diutamakan bukanlah berapa banyak yang diperoleh, tetapi bagaimana harta dan kekayaan itu didapatkan. Jika tidak ada rasa malu, orang tidak lagi berpikir ''bagaimana seharusnya'' mendapat rezeki, tetapi adalah ''bagaimana secepatnya'' rezeki datang.

Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah SAW, ''Perbuatan apakah yang menyebabkan seseorang dicintai Allah dan dicintai sesama manusia?'' Rasulullah menjawab, ''Jangan serakah terhadap harta, engkau akan dicintai Allah. Jangan tamak terhadap hak-hak orang lain, engkau akan dicintai sesama manusia.'' (HR Ibnu Majah).

Perjuangan meraih sukses dan kebahagiaan tidak dapat dilepaskan dari akhlak, moralitas, dan budi pekerti yang tecermin dari kesanggupan memisahkan norma-norma baik dan buruk. Di manapun, nilai materi tidak dapat menutupi kekurangan budi pekerti.

Selanjutnya akhlak yang baik harus melahirkan sifat pemurah atau dermawan. Hidup yang bermartabat adalah hidup yang memberi manfaat kepada orang lain, bukan hidup yang memanfaatkan orang lain. Singkatnya, hidup menjadi bernilai dan bermartabat jika kita memiliki lima hal yang dinasihatkan Lukman al-Hakim kepada putranya. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement