Ahad 17 Nov 2019 08:25 WIB

PBB Peringatkan Krisis Bolivia Bisa Lepas Kendali

Bentrokan antara petani koka dan polisi Bolivia menewaskan sembilan orang.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Ani Nursalikah
Pendukung mantan presiden Bolivia Evo Morales bentrok dengan polisi di La Paz, Bolivia.
Foto: AP Photo/Juan Karita
Pendukung mantan presiden Bolivia Evo Morales bentrok dengan polisi di La Paz, Bolivia.

REPUBLIKA.CO.ID,  LA PAZ -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan kekerasan di Bolivia dapat lepas kendali, Sabtu (16/11). Pertikaian baru-baru ini antara pasukan keamanan dan petani koka pendukung Presiden Evo Morales telah menewaskan sembilan orang.

Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet memperingatkan Peningkatan kekerasan dapat merebut proses demokrasi. "Saya khawatir situasi di Bolivia bisa lepas kendali jika pihak berwenang tidak menanganinya dengan penghormatan penuh terhadap hak asasi manusia," kata Bachelet dalam sebuah pernyataan.

Baca Juga

Kekerasan di Bolivia menambah keresahan yang meningkat di wilayah Amerika Latin, termasuk di negara tetangga Cile dimana protes atas ketidaksetaraan sosial berubah menjadi kerusuhan yang menewaskan sedikitnya 20 orang. Ekuador, Venezuela, dan Argentina juga menyaksikan pemogokan, protes, dan kerusuhan yang meluas dalam beberapa bulan terakhir.

Ombudsman Cochabamba Nelson Cox mengatakan, catatan rumah sakit di wilayah pertanian koka menunjukkan sebagian besar kematian dan cedera disebabkan oleh luka tembak, Jumat. Lebih dari 100 orang terluka dalam aksi lapangan itu.

"Kami sedang bekerja dengan kantor ombudsman nasional untuk melakukan otopsi dan mencari keadilan bagi para korban ini," kata Cox.

Polisi menyatakan, para petani koka di beberapa tempat melakukan protes dengan bersenjata berat. Mereka membawa senjata mulai dari pistol, kotak granat, dan bazoka buatan yang terbuat dari pipa yang digergaji.

Utusan PBB Jean Arnault mengatakan, akan ada tim yang mengadakan pertemuan dengan politikus dan kelompok sosial pada Ahad. Pertemuan ini dilakukan untuk mengakhiri kekerasan dan mendorong pemilihan yang bebas dan transparan.

Morales mengundurkan diri di bawah tekanan dari polisi dan militer Bolivia pada pekan lalu. Dorongan ini muncul setelah bukti kecurangan penghitungan suara mencemari kemenangannya pada pemilihan 20 Oktober. Dia melarikan diri ke Meksiko dua hari setelah pengunduran dirinya.

Mantan petani koka yang berhaluan kiri itu menyebut pemecatannya sebagai kudeta sayap kanan. Dia mengklaim penindasan oleh pasukan keamanan di bawah presiden sementara dan mantan anggota parlemen konservatif Jeanine Anez.

"Para pemimpin kudeta membantai orang-orang pribumi dan rendah hati karena meminta demokrasi," kata Morales di Twitter menyusul laporan meningkatnya kematian.

Anez menyalahkan Morales karena memicu kekerasan dari luar negeri. Dia mengatakan pemerintahnya ingin mengadakan pemilihan dan bertemu dengan oposisi untuk menghentikan protes.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement