Kamis 21 Nov 2019 10:13 WIB

Nasionalisme Jadi Tanda Tanya di Nagabonar Reborn

Nagabonar Reborn lebih menyoroti percintaan daripada unsur nasionalisme.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Reiny Dwinanda
Salah satu adegan Nagabonar Reborn.
Foto: Dok Gempita Tjipta Perkasa
Salah satu adegan Nagabonar Reborn.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah kematian sang ayah, Nagabonar (Gading Marten) hidup berdua saja dengan sang ibunda (Rita Matumona). Suatu hari, atas izin ibunya, Nagabonar memutuskan merantau ke kota demi hidup yang lebih baik.

Keputusan tersebut mengantarkan Nagabonar pada berbagai peristiwa tak terduga. Pada masa itu, Indonesia berada pada masa peralihan antara penjajahan Belanda dan Jepang. Mayor Sudung (Donni Damara) menunjuk Nagabonar memimpin perlawanan rakyat.

Baca Juga

Di saat yang sama, Nagabonar sedang jatuh cinta pada sosok perempuan baik hati bernama Kirana (Citra Kirana). Nagabonar berjuang untuk mendapatkan cintanya, sekaligus merebut kedaulatan Indonesia dari tangan penjajah.

photo
Citra Kirana memerankan tokoh gadis idaman Nagabonar dalam Nagabonar Reborn.

Nagabonar Reborn arahan sutradara Dedi Setiadi bukan film sejarah, melainkan drama komedi dengan latar waktu dan tempat di era kemerdekaan. Ada sejumlah perbedaan mendasar dari film ini dibandingkan beberapa versi terdahulu.

Sosok Nagabonar tidak lagi dikisahkan sebagai pencopet. Beberapa tokoh pendamping yang merupakan sahabat Nagabonar, Mariam dan Lukman, juga digambarkan memiliki karakter berbeda. Antagonis dan protagonis cukup rancu pada kisah ini.

photo
Gading Marten sebagai Nagabonar dalam film Nagabonar Reborn.

Penikmat film tidak bisa memungkiri bahwa sosok Nagabonar selama ini lekat dengan aktor kawakan Deddy Mizwar. Akting Gading Marten cukup menghayati dengan segala logat dan ekspresinya, tapi belum bisa menyaingi karisma Deddy Mizwar.

Sutradara dan produser menyebut Nagabonar Reborn sebagai paket komplet kisah Nagabonar dengan muatan nilai-nilai nasionalisme. Nyatanya, film berdurasi 109 menit ini cenderung menyoroti percintaan Nagabonar dan Kirana daripada aksi perjuangan.

Pesan dan nilai nasionalisme sekadar hadir lewat dialog selintas, tetapi tidak terangkum secara bernas dalam plot cerita. Kekurangan fatal lainnya adalah perkara sinematografi. Sejumlah efek CGI terlihat sangat kasar dan tampak palsu, juga blocking pemeran yang kurang pas di sejumlah adegan.

Belum lagi beberapa extras yang tertawa-tawa atau tersenyum simpul saat adegan seharusnya dibawakan dengan serius. Secara keseluruhan, eksekusi film tidak cukup memuaskan untuk nama besar Nagabonar yang sudah melegenda.

Paling tidak, penonton bisa mendapat wawasan terkait peristiwa bersejarah atau sekadar tertawa melihat akting Gading serta sang ibunda. Slogan "Apa kata dunia?" yang terkenal sejak film-film sebelumnya kembali muncul di sejumlah adegan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement