Jumat 22 Nov 2019 05:40 WIB

Menjaga Etika Komunikasi di Era Milenial, Sulitkah?

Saat ini, komunikasi berlangsung juga di media-media sosial.

Media sosial
Foto: pixabay
Media sosial

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nur Farida

Rasulullah SAW bersabda, "Perkataan kotor menunjukkan kekotoran tabiat, dan kekotoran tabiat kelak di neraka." (HR Al-Bukhari dan At-Tirmidzi) Di dunia internet yang kian maju saat ini, komunikasi antarmanusia seperti tak berjarak jauh. Orang di satu negara bisa berkomunikasi dengan orang lain di negara berbeda dalam waktu yang sama. Apalagi ditambah dengan adanya media-media sosial. Pendek kata, masalah komunikasi antarmanusia di abad ini relatif tidak ada hambatan. Yang bermasalah justru adalah isi atau materi dari komunikasi itu.

Dulu, sebelum ada internet yang berlanjut pada munculnya media-media sosial, komunikasi antarmanusia berlangsung lewat lisan. Sebagian orang yang belum terambah teknologi itu atau enggan memanfaatkan kemajuan teknologi masih berkomunikasi lewat lisan. Saat ini, komunikasi berlangsung juga di media-media sosial. Bukan lagi lewat bahasa lisan, tetapi bahasa tulisan yang mewakili bahasa lisan. Di situ, orang bisa menulis, menanggapi, dan menilai apa pun. Dari yang positif hingga yang negatif.

Untuk yang positif, tentu saja tidak ada masalah. Yang masalah adalah yang negatif. Seperti halnya bahasa lisan yang oleh Rasulullah pada hadis di awal diingatkan untuk dijaga, karena Allah tidak suka orang yang berkata kotor, dalam bahasa tulisan juga demikian. Berkata kotor di sini adalah berkata yang isinya antara lain menghujat, mengejek, atau menjelek-jelekkan yang biasa disebut bullying, hingga memfitnah. Beda halnya jika isinya adalah kritik, koreksi, masukan, dan sejenisnya yang positif.

Dalam hadis disebutkan, "Sesungguhnya Allah benci terhadap orang yang berkata kotor." (HR Ath-Thahawi). Allah SWT tidak suka kata-kata kotor karena akan berdampak buruk pada pelaku dan korbannya. Bagi pelaku akan menjadi terbiasa, kemudian menganggapnya tiada masalah. Dengan kata lain, ia meremehkan dosa, lalu lambat laun—karena sudah terbiasa—pelaku akan menganggapnya sebagai bukan dosa.

Adapun bagi korban, secara psikis ia akan tertekan. Dalam kondisi ini, bisa jadi ia akan membalas dengan hal yang sama, hingga lahir perang kata-kata kotor. Atau, ia diam saja, tapi perasaannya terganggu.

Seorang Muslim yang baik akan selalu menjaga segala ucapan dan perilakunya. Karena, ia tahu dampak yang bakal terjadi nantinya. Seperti disebutkan pada hadis di awal, perkataan kotor menunjukkan tabiat yang kotor, dan tabiat yang kotor menjadi penyebab seseorang masuk neraka. Lidah memang tak bertulang, tetapi ia tak kalah tajam jika digunakan. Seperti halnya senjata, lidah juga bisa "membunuh", yakni membunuh karakter, bahkan menjadi sarana yang menuju pada perbuatan membunuh.

Maka Rasulullah memberikan wejangan, jika seseorang tak mampu berkata yang baik-baik, lebih baik diam. "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam." (HR al-Bukhari dan Muslim).

Alquran mengingatkan dengan tegas, "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)." (QS Al-Hujurat [49]: 11). Wallahu a'lam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement