Ahad 24 Nov 2019 17:04 WIB

Pilkada Melalui DPRD Dinilai Lebih Bermasalah

Pilkada lewat DPRD dinilai juga memakan biaya yang tak sedikit.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Teguh Firmansyah
Pilkada (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Pilkada (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang belakangan kembali menyeruak dinilai lebih mahal dan bermasalah daripada Pilkada langsung oleh rakyat. Sehingga, Pilkada melalui DPRD dinilai tidak sepatutnya kembali diberlakukan.

Peneliti Senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay menilai, Pilkada melalui DPRD juga memakan biaya yang tidak sedikit.

Baca Juga

"Di DPRD bukan tidak ada biaya, persoalan uang di sana besar dan ada hal lain pula yang banyak bermasalah," ujar Hadar dalam diskusi yang digelar di Matraman, Jakarta, Ahad (24/11).

Selain itu, lanjut Hadar, Pilkada melalui DPRD juga menimbulkan masalah bila yang terpilih tidak dikehendaki masyarakat. Gelombang protes lebih berpotensi terjadi dalam masa pemerintahan. Di samping itu, Pemilihan melalui DPRD juga memunculkan masalah terkait pertanggungjawaban kepala daerah setiap tahunnya.

Hadar menyebut, pertanggungjawaban tiap tahun yang dilakukan ke DPRD menimbulkan adanya potensi kepala daerah dijatuhkan oleh DPRD. Terutama, bila kepala daerah tersebut tidak sesuai dengan kepentingan partai yang diusung oleh DPRD.

"Tiap tahun dimana kepala daerah laporkan kinerjanya, itu jadi arena permainan politik uang karena mereka bisa dijatuhkan," ucap Hadar.

Hadar menilai, penyelenggaraan Pilkada melalui DPRD merupakan langkah mundur. Lagipula, perdebatan soal ini sudah berjalan sejak 2004 dan dianggap sudah selesai sejak Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk Pilkada langsung.

"Banyak yang bermasalah di DPRD, maka itu lalu disepakati pemilihan secara langsung dan itu mulai di 2005 pilkada langsung," ujar dia.

Hadar pun menilai yang harus diperbaiki justru skema pencalonan di partai politik. Menurut dia, proses mendapatkan dukungan dari parpol untuk calon kepala daerah justru memakan biaya lebih.

Calon kepala daerah diharuskan membayar miliaran rupiah. Maka itu, Hadar menilai yang harus diperbaiki adalah partai, bukan sistem pilkada langsung.

Politikus PPP Muktamar Jakarta Humphrey Djemat menyatakan, penyelenggaraan pilkada dengan DPRD justru menegaskan oligarki partai politik (parpol). "Kalau pilkada DPRD dipakai lagi ya kita pakai barang busuk namanya," ujar dia.

Humphrey juga menyebut persoalan krusial adalah di parpol. "Karena semua itu muncul dari parpol. Parpol ini kan soal transaksional mahar sudah jadi rahasia umum. Bahkan mahar ini kadangkala lebih besar. Tidak ada makan siang gratis, saya yang terjun ke parpol melihat hal tersebut," ujar dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement