REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai perjuangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengatur larangan eks narapidana kasus korupsi sangat berat. Bahkan KPU bakal mendapatkan dua perlawanan sekaligus. Rencananya, larangan eks napi kasus korupsi ini bakal dituangkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
"Pertama adalah perlawanan hukum. Pasti peraturan KPU ini akan dipersulit untuk diundangkan dalam berita negara karena dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi," keluh Titi dalam diskusi bertema "Ngeri-ngeri Sedap Larangan Napi Korupsi Maju Pilkada" di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (25/11).
Lanjut Titi, selanjutnya adalah perlawanan politik dari pihak yang bersangkutan. Diantaranya dengan melakukan uji materi PKPU ke Mahkamah Agung (MA) oleh para mantan napi kasus korupsi yang mencalonkan diri di pemillihan kepala daerah (Pilkada) 2020 mendatang. Kemudian KPU dianggap melakukan abuse of power dengan melampaui otoritas kkewenanganya.
"Tentunya ekosistem politik dan hukum tidak menopang KPU untuk mengatur pelarangan mantan napi korupsi atau napi kejahatan berat lainnya," tambahnya.
Kendati demikian, Titi menegaskan bahwa pihaknya tetap mengajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal 7 ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2016, yaitu mengenai pencalonan mantan terpidana tidak hanya mantan napi korupsi. Namun nantinya, meski eks napi tetap bisa mencalonkan diri tapi harus ada syarat yang wajib penuhi. Sehingga diharapkan publik mendapatkan kontestan terbaik dalam Pilkada.
“Bukan hanya korupsi, tapi juga semua kategori kejahatan itu hanya boleh dicalonkan di Pilkada dengan sejumlah persyaratan. Hingga ini menjadi konstitusional bersyarat,” tegas Titi.
Titi menjelaskan, syarat mantan napi jika ingin mencalonkan diri di Pilkada, yang bersangkutan harus sudah bebas murni setidaknya10 tahun sebelum pencalonan dilakukan. Kemudian eks napi tersebut juga harus membuat pernyataan sejujurnya, jika ia merupakan mantan narapidana. Terakhir yang bersangkutan bukan tindak pidana berulang.