REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah masih melakukan pembahasan dalam menentukan anggaran untuk disposal atau pelepasan beras dari gudang Perum Bulog sebanyak 20 ribu ton. Beras tersebut merupakan stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang tersimpan selama lebih dari satu tahun.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud mengatakan, pihaknya belum membuat keputusan mengenai disposal itu. "Sudah dibicarakan, tapi masih dalam tahap pembahasan," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Jumat (29/11).
Diketahui, Perum Bulog harus ‘melepas’ beras dari gudang dengan cara dimusnahkan. Sebab, komoditas tersebut telah mengalami penurunan kualitas mutu sehingga tidak layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
Tindakan disposal ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah. Rapat di tingkat Kemenko Perekonomian tersebut turut melibatkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai bendahara negara.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, pihaknya akan melihat lebih jelas mengenai kebutuhan anggaran disposal tersebut. "Nanti kita lihat kalau sudah dirapatkan di Kemenko (Perekonomian) ya. Nanti saya lihat," katanya saat ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat siang.
Sebelumnya, Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog, Tri Wahyudi Saleh mengatakan, pemerintah sebagai yang berwenang terhadap perlakuan stok CBP harus mengganti biaya beras yang dimusnahkan itu. Ia memproyeksikan, nilai beras sebanyak 20 ribu ton tersebut diperkirakan mencapai Rp 160 miliar dengan asumsi Rp 8 ribu per kilogram (kg).
Sampai saat ini, pemerintah diketahui belum menyediakan anggaran pengganti beras yang bakal dimusnahkan. Hal ini membuat Bulog dalam kondisi terjepit, sebab harus memusnahkan beras demi menjalankan amanat Kementerian Pertanian, namun belum mendapatkan kepastian penggantian uang dari Kementerian Keuangan.
Tri mengatakan, Kemenkeu sebagai pemilik anggaran masih melakukan kajian yang dilakukan melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Tapi, realisasinya tidak dapat cepat mengingat kajian itu diperkirakan memakan waktu cukup lama hingga enam bulan.