Ahad 01 Dec 2019 22:30 WIB

Jejak Pesantren di Nusantara

Istilah pesantren cenderung populer bagi masyarakat Muslimin di Jawa.

Rep: Muhyiddin/ Red: Agung Sasongko
Santri pondok pesantren (Ilustrasi)
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Santri pondok pesantren (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pendidikan Islam berlangsung seiring dengan perkembangan dakwah agama ini. Pada mulanya, masyarakat menerima ajaran Islam dari seorang mubaligh. Setelah komunitas Muslimin terbentuk, mereka mulai membangun masjid di samping kediaman ulama setempat.

Menurut Prof Haidar Putra Daulay dalam Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang pertama kali muncul. Setelah itu, berbagai institusi lainnya lahir dengan menempatkan masjid sebagai pusat kegiatan. Misalnya, pesantren, dayah, atau surau.

Istilah pesantren cenderung populer bagi masyarakat Muslimin di Jawa. Dayah berkembang di Aceh, sedangkan surau di bumi Minangkabau. Bagaimanapun, lanjut Haidar, semuanya secara hakikat merujuk pada fungsi yang sama, yakni tempat menuntut ilmu-ilmu agama Islam.

Sementara itu, KH Abdurrahman Wa hid (Gus Dur) dalam Menggerakkan Tra disi: Esai-Esai Pesantren menilai, pesantren merupakan suatu kehidupan sosial yang unik. Sebuah pesantren umumnya merupakan kompleks yang terpisah dari keseha rian masyarakat di sekitarnya.

Di dalam area itu terdapat kediaman pengasuh (sebutannya kiai dalam bahasa Jawa, ajengan menurut bahasa Sunda, atau bendara di Madura); sebuah masjid; tempat pengajar an (madrasah); dan asrama, yakni tempat tinggal para murid yang disebut sebagai santri.

Kegiatan pokok pesantren, lanjut Gus Dur, dipusatkan pada pemberian pengajian buku-buku teks (al-kutub al-muqarrarah) sehabis menjalani shalat lima waktu berjamaah. Inilah yang antara lain membedakan pola kehidupan pesantren dengan warga masyarakat (Muslimin) pada umumnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement