REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Hubungan antara China dan Amerika Serikat semakin kacau setelah House of Representative Amerika Serikat (AS) mengesahkan Undang-Undang tentang Uighur di Xinjiang, Rabu (4/12). China dengan tegas menyebut seputar wilayah itu merupakan merupakan kedaulatan Beijing sepenuhnya.
"Xinjiang adalah Xinjiang China," kata sebuah pernyataan dari Komisi Urusan Etnis Nasional China.
Legislatif Komisi Urusan Luar Negeri China menyatakan UU Uighur telah mengabaikan fakta dan mencampuradukan hitam dan putih. Mereka menegur keras atas keputusan pemerintah AS. Terlebih lagi satu pekan sebelumnya Trump pun menandatangani Rancangan Undang-Undang yang mendukung unjuk rasa di Hong Kong.
"Sangat disesalkan Kongres AS tidak hanya menutup mata terhadap upaya Xinjiang untuk memerangi terorisme dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan hukum dan peraturan," ujar komisi tersebut.
Komisi Urusan Luar Negeri China menyatakan China telah melakukan perkembangan ekonomi di Xinjiang saat ini. Stabilitas sosial, persatuan nasional, dan kerukunan umat beragama pun dapat dijalankan dengan baik.
Undang-Undang Kebijakan Hak Asasi Manusia Uighur mengecam penahanan sekitar satu juta warga minoritas Muslim Uighur, Kazakh, dan lainnya di Xinjiang. Departemen Luar Negeri akan mengevaluasi pejabat Cina yang terlibat dalam penahanan untuk menerima sanksi.