Jumat 06 Dec 2019 04:15 WIB

Ekonom Soroti Potensi Penurunan Usaha Mikro Kecil

Peraturan Pemerintah Nomor 80 berdampak negatif terhadap pengusaha mikro dan kecil.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Gita Amanda
Peraturan Pemerintah Nomor 80 berdampak negatif terhadap pengusaha mikro dan kecil. Foto usaha mikro dan kecil, (Ilustrasi).
Foto: Republika/Bayu Adji P
Peraturan Pemerintah Nomor 80 berdampak negatif terhadap pengusaha mikro dan kecil. Foto usaha mikro dan kecil, (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, kewajiban kepemilikan izin usaha dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) berdampak negatif terhadap pengusaha usaha mikro dan kecil. Sebab, mereka akan kesulitan mendapatkan izin yang kini masih membutuhkan proses panjang dan biaya tidak murah.

Bhima menjelaskan, kewajiban memiliki izin usaha akan membuat penjual di platform niaga daring atau e-commerce terkonsentrasi ke pemilik usaha menengah besar. Pedagang perorangan berskala mikro dan kecil dapat berkurang. "Mereka harus difasilitasi pemerintah untuk mengurus perizinan lebih cepat dan murah, seperti tanpa calo," tuturnya ketika dihubungi Republika, Kamis (5/12) malam.

Baca Juga

Potensi ini patut diperhatikan oleh pemerintah. Pasalnya, Bhima menambahkan, jumlah pengusaha perseorangan dengan skala mikro dan kecil itulah yang justru memberikan kontribusi besar terhadap ekonomi Indonesia. Jumlah mereka terbilang lebih banyak dan masif karena dapat dikerjakan di rumah.

Dalam Pasal 15 PP 80/2019, dituliskan bahwa pelaku usaha wajib memiliki izin usaha dalam melakukan kegiatan usaha PMSE. Pelaku usaha yang dimaksud adalah perseorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum. Baik itu pelaku usaha dalam negeri ataupun luar negeri dan melakukan kegiatan usaha di bidang PMSE.

Tapi, Bhima mengapresiasi kebijakan pemerintah. Regulasi PP 80/2019 memperlihatkan usaha pemerintah untuk memformalkan sektor e-commerce dengan izin usaha. "Maklum selama ini banyak penjual perorangan bahkan tanpa NPWP (Nomor Pokok wajib Pajak)," katanya.

Di sisi lain, Bhima menekankan, pemerintah perlu memperjelas aturan mengenai penjualan di media sosial. Sebab, regulasi PP 80/2019 baru membahas platform resmi seperti Lazada, Tokopedia dan Bukalapak. Sementara, tingkat perdagangan di media sosial seperti Instagram dan Facebook juga tinggi.

Bhima mengatakan, jangan sampai aturan pemerintah berat sebelah ke platform resmi sedangkan pengawasan di media sosial masih lemah. Justru, yang terjadi nantinya adalah pedagang 'hijrah' dari platform ke media sosial. "Ini akan semakin sulit mengejar pajak dan kepatuhannya," ujarnya.

Bhima mengakui, mengumpulkan pajak di media sosial bukan pekerjaan mudah. Ia menyarankan agar platform seperti Facebook dan Instagram yang menjadi withholding tax. Artinya, mereka yang berkewajiban memungut pajak dalam tiap transaksi perdagangan di platform mereka.

Pemerintah resmi mengatur Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau juga dikenal e-commerce. Ketentuan ini diatur dalam PP 80/2019 yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 20 November dan diundangkan pada 25 November 2019.

Pengaturan perdagangan pada umumnya telah diatur dalam  regulasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Hanya saja, PMSE belum diatur secara mendetail. Oleh karena itu, PP 80/2019 diterbitkan demi terselenggaranya sistem perdagangan yang adil dan terpercaya serta melindungi kepentingan konsumen.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement