REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam kerap kali menekankan pentingnya bagaimana akhlak seorang Muslim seharusnya. Bahkan tak tanggung-tanggung, manusia yang dijadikan teladan dalam perkara akhlak adalah Rasulullah SAW.
Akhlak sebagaimana diterangkan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin, merupakan suatu perangai yang menetap kuat dalam jiwa. Karakter akhlak dalam jiwa itu timbul lantaran perbuatan-perbuatan tertentu yang dilakukan setiap orang.
Imam Al-Ghazali membagi akhlak ke dalam dua syarat, yakni stabilitas dan spontanitas. Adapun stabilitas akhlak merupakan karakter yang memungkinkan pelakunya melakukan perbuatan baik yang konsisten, permanen, serta berkelanjutan. Sedangkan akhlak yang sifatnya spontan hadir di saat muncul kesempatan dan juga dilakukan tanpa paksaan.
Menurut beliau, orang yang berakhlak setidaknya dapat mengendalikan empat hal yang cukup sulit dikendalikan di berbagai aspek hidup, antara lain nafsu, amarah, pengetahuan, dan keadilan. Dengan demikian, akhlak bukanlah hanya mengatur laku kata, namun juga laku sikap.
Terdapat suatu kisah yang menarik tentang akhlak dari seorang bocah penggembala domba. Suatu ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz menghampiri seorang anak yang tengah menggembala domba milik majikannya.
Untuk menguji kejujuran anak tersebut, Umar bin Abdul Aziz bertanya: “Nak, maukah kau jual dombamu satu kepadaku?”. Si anak lantas menjawab: “Domba-domba ini bukan milikku, tapi milik majikanku”.
Umar tidak berhenti dan terus merayu anak tersebut untuk menjualnya, beliau berkata: “Tapi kalau kaujual satu untukku, majikanmu tidak akan tahu,”. Lalu anak itu menjawab: “Majikanku memang tidak tahu, tapi Allah selalu tahu. Dan aku tak mau mengecewakan Tuhanku”.
Jika disandingkan dengan hadis Rasulullah SAW, sikap si anak tadi pun sekiranya dapat menggambarkan apa itu akhlak yang mulia. Nabi Muhammad pernah berkata: “Kebaikan adalah apa-apa yang kamu lakukan membuat hatimu tenang. Sedangkan kejahatan adalah bilamana hal-hal yang kamu lakukan membuat hatimu gelisah”.