REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menyatakan, peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2019 untuk membuat sadar bahwa kasus korupsi itu bisa membuat 'kiamat' suatu negara. Hal tersebut dikatakan Saut saat menghadiri Anti-corruption Film Festival 2019 (ACFFest) atau Festival Film Antikorupsi 2019 sebagai rangkaian dari kegiatan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2019 di Ciputra Artpreneur, Jakarta, Ahad (8/12).
“Kan sesungguhnya agar dunia sadar bahwa korupsi bisa bikin 'kiamat' suatu negara kemudian negara jadi bubar. Negara jadi tidak efisien, tidak efektif, ketidakadilan,” tutur Saut, Ahad.
Ia menambahkan, melalui peringatan Hakordia 2019 tahun ini, KPK mengajak semua pihak untuk sama-sama memberantas korupsi bahkan dimulai dari hal-hal sederhana. Misalnya, tidak menyuap jika tidak lulus uji pengajuan Surat Izin Mengemudi (SIM), tidak melanggar lalu lintas, tidak buang sampah sembarangan, atau tidak titip absen saat kuliah untuk mahasiswa. Saut menilai, bahkan isu radikalisme banyak muncul dari isu korupsi.
“Radikal itu background-nya macam-macam, radikal agama, radikal ideologi bahkan radikal ekonomi. Radikal ekonomi umpamanya kalau dia dilakukan tidak adil, kemudian dia lakukan ketidakadilan juga,” kata Saut.
Sementara itu, menyambut Hakordia 2019, Istana Kepresidenan menegaskan komitmennya terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pernyataan istana ini disampaikan Juru Bicara Kepresidenan Fadjroel Rachman. "Sikap politik pemerintahan Jokowi-Maruf tegas antikorupsi dan mendorong penegakan hukum antikorupsi dari pencegahan hingga pemberantasan korupsi di seluruh Indonesia," kata Fadjroel, Ahad (8/12).
Komitmen istana terhadap pemberantasan korupsi memang sempat dipertanyakan menyusul adanya revisi atas UU KPK sebelumnya. Bahkan, hingga saat ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum memutuskan untuk mengundangkan atau tak menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Meski sebelumnya, sinyal kepastian bahwa Istana tak akan menerbitkan Perppu KPK sempat disampaikan Fadjroel pada Jumat (29/11). Fadjroel mengatakan, Presiden Jokowi tak lagi perlu untuk menerbitkan Perppu KPK. “Karena sudah ada UU 19/2019, tidak perlu lagi Perppu KPK,” kata Fadjroel.
Pernyataan jubir kepresidenan tersebut, pun dipandang sebagai keputusan resmi Presiden Jokowi yang memastikan tak akan mengundangkan aturan pengganti UU KPK 19/2019 yang dianggap bakal mematikan KPK. Namun, menanggapi soal peluang tersebut, Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan, Presiden Jokowi belum memutuskan sikap apakah akan menerbitkan Perppu KPK atau tidak.
Puncak peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2019 akan digelar di gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta, Senin (9/12). Tema yang diambil untuk Hakordia 2019 adalah 'Bersama Melawan Korupsi Mewujudkan Indonesia Maju'. Rangkaian kegiatan dimulai pada Jumat (6/12) dengan diselenggarakannya Festival Suara Anti Korupsi (SAKSI) dan penghargaan Apresiasi Jurnalis Lawan Korupsi 2019.
Anggota wadah pegawai KPK bersama Koalisi Masyarakat sipil antikorupsi melakukan aksi
Catatan
Sebelumnya, ada sejumlah peristiwa yang dinilai publik sebagai langkah pemerintah melemahkan semangat pemberantasan korupsi. Peristiwa itu antara lain, pemilihan Ketua KPK yang dinilai bermasalah dan pengesahan revisi UU KPK.
Ahli hukum tata negara Oce Madril mengungkapkan, lolosnya revisi UU KPK, bukan hanya melemahkan KPK, melainkan juga lembaga-lembaga lain, seperti Ombudsman, Komnas HAM, dan lembaga-lembaga independen yang lain. "Karena sepertinya KPK adalah lawan politik yang harus segera dibungkam," kata Oce.
Ia mengungkapkan, konsep trias politica di Indonesia tidak cukup untuk membangun negara ini. Maka itu, dibentuklah badan lembaga negara yang independen. "KPK adalah lembaga yang penting dalam konstitusional. KPK berfungsi untuk menindak pelaku korupsi dari pihak mana saja, tanpa terkecuali," katanya.
Kepala Bagian Perencanaan Peraturan dan Produk Hukum KPK Rasamala Aritonang mengatakan, yang penting saat ini bagi KPK adalah dukungan politik dari pemerintah. "Jika kita ingin KPK bisa independen. Kita perlu dukungan yang kuat. Harapannya hanya ada pada Presiden (Jokowi)," ujarnya.
Menurut dia, seharusnya presiden bukan hanya menjadi panglima tertinggi angkatan bersenjata, melainkan panglima tertinggi pemberantasan korupsi. Sementara itu, Divisi hukum Indonesian Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, berdasarkan data dan Catatan ICW, sejak 2010 presiden dan DPR tidak menguatkan KPK, melainkan justru seperti memasukkan KPK ke jurang. Ia pun menegaskan, masa depan KPK akan suram dalam empat tahun ke depan jika revisi UU KPK dibiarkan. N sapto andika candra/antara ed: agus raharjo