Selasa 10 Dec 2019 14:49 WIB

Soal Revisi Khilafah dan Jihad, Begini Pendapat Santri

Santri pesantren menyarankan materi khilafah dan jihad tidak dihilangkan.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Nashih Nashrullah
Materi khilafah dan jihad diganti dengan materi yang sejalan dengan Islam wasathiyah. Foto Ilustrasi bendera HTI.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Materi khilafah dan jihad diganti dengan materi yang sejalan dengan Islam wasathiyah. Foto Ilustrasi bendera HTI.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA – Rencana penyempurnaan kurikulum madrasah yang mengandung konten khilafah dan jihad oleh Kementerian Agama mendapat penolakan dari beberapa pihak. 

Termasuk dari kalangan santri yang ada di Jawa Timur. Salah satunya Amaluddin (32), santri di Ponpes Bahrul Ulum, Tambak Beras, Kabupaten Jombang, yang juga menentang rencana tersebut.  

Baca Juga

Santri asal Gresik tersebut berpendapat, rencana penarikan materi khilafah dan jihad dari kurikulum madrasah oleh Kementerian Agama, sama dengan menyembunyikan sejarah. Karena menurutnya, sejarah perkembangan agama Islam, tidak akan lepas dari jihad yang dilakukan Rasulullah SAW, dan para khilafah setelahnya. 

"Jelas saya tidak setuju. Karena khilafah dan jihad itu sejarah. Sejarah itu penting diketahui umat Islam. Kalau itu dihapus seakan-akan pemerintah menyembunyikan sejarah perjuangan Rasulullah SAW," ujarnya kepada Republika.co.id, Selasa (10/12).

Amaluddin juga mempertanyakan tujuan Kementerian Agama menghapus kurikulum tentang khilafah dan jihad tersebut. Menurutnya, jika penghapusan yang dilakukan berdalih untuk mencegah tindakan radikalisme, juga keliru. Karena tidak ada bukti, pelaku tindakan radikal tersebut adalah orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan di madrasah, apalagi pesantren. 

"Ya lihat saja. Emangnya mereka yang berbuat radikal itu yang pernah belajar tentang khilafah dan jihad di madrasah atau pesantren? Kan enggak juga. Jangan lah itu dihapus. Nanti malah menghapus sejarah penting tentang perkembangan Islam," ujarnya. 

Amaluddin tidak memungkiri adanya pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan islilah khilafah dan jihad untuk membuat kekacauan, bahkan menebar teror.

 Namun tidak perlu menghapuskan sejarah tentang khilafah dan jihad di zaman dahulu. Menurutnya, yang perlu diluruskan adalah metode pembelajaran terkait sejarah dimaksud. 

"Tidak perlu mengubah sejarah. Dihapus pun tidak menjamin menghilangkan tindakan radikal di negeri ini. Harusnya pemerintah hanya mengubah metode belajarnya, suapaya tidak disalahartikan (soal khilafah dan jihad)" kata dia. 

Santri di Ponpes Miftahul Hikmah, Kabupaten Mojokerto, Maulana Syarifudin (24) juga tidak sepakat dengan penghapusan kurikulum terkait khilafah dan jihad tersebut. Dia juga tidak sepakat, penghapusan kurikulum dimaksud, bisa menghilangkan tindakan radikalisme di Indonesia. 

Menurutnya, untuk memerangi tindakan radikalisme, seharusnya malah porsi pembelajaran tentang khilafah dan jihad diperbanyak. Sehingga pemahaman yang dimiliki siswa madrasah maupun santri lebih jelas. Menurutnya, tindakan radikalisme bisa muncul akibat kedangkalan pengetahuan tentang khilafah maupun jihad.  

"Sangat tidak tepat. Justru untuk menghapus radikalisme itu mestinya dengan menambah porsi pembelajaran tentang khilafah dan jihad. Karena tindakan radikalisme itu muncul biasanya karena kedangkalan pengetahuan tentang khilafah dan jihad itu sendiri," ujar Maulana.

Maulana berpendapat, sejarah Islam tidak akan bisa lepas dari khilafah dan jihad. Karena itu merupakan bagian dari perkembangan Islam di dunia ini. Menurutnya, justru seharusnya sejarah terkait agama Islam tersebut harus diberikan kepada para siswa sejak dini. "Karena kan kalau sudah usia tua biasanya sulit mencernanya," kata Maulana.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement