REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Praktisi sekaligus pemerhati masalah transportasi logistik, Bambang Haryo Soekartono, menilai tarif tiket pesawat yang tinggi bukan sepenuhnya kesalahan maskapai. Peran pemerintah menurutnya juga mengakibatkan mahalnya tiket pesawat.
“Justru akibat kebijakan pemerintah terutama Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dalam mengelola transportasi udara,” kata Bambang.
Bambang menjelaskan setidaknya terdapat lima faktor yang menyebabkan tarif pesawat menjadi mahal. Pertama, lanjut Bambang, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah melonjak lebih dari 60 persen dari sekitar Rp 9.000 pada 2012 menjadi Rp 14 ribu pada 2019.
Depresiasi rupiah menurutnya berdampak terhadap peningkatan tarif pesawat akibat lonjakan harga komponen pesawat, avtur, Maintenance Repair dan Overhaul (MRO), utang, dan biaya lain yang masih banyak mengacu terhadap dolar AS. “Solusinya, ekonomi harus diperbaiki supaya rupiah kembali menguat, kalau ekonomi masih lesu ya susah,” ujar Bambang.
Kedua, lanjut dia, meskipun harga avtur diturunkan namun konsumsi bahan bakar tetap tinggi. Sebab, pesawat yang akan mendarat di semua bandara komersial masih harus antre atau holding.
“Avtur yang dihabiskan untuk antre ini bahkan lebih besar daripada insentif avtur untuk maskapai,” ujar Bambang.
Dia mencontohkan, penerbangan Jakarta-Yogyakarta yang dulunya hanya butuh waktu 45 menit, sekarang rute tersebut bisa menghabiskan satu jam lima menit. Dengan begitu, konsumsi avtur pesawat naik hampir 50 persen.
Untuk itu, Bambang menyarankan kemampuan Airnav Indonesia harus segera ditingkatkan karena produktivitas landasan pacu bandara komersial sangat rendah. “Bandara Soekarno-Hatta hanya bisa melayani tidak lebih dari 30 take off dan landing pesawat per landasan pacu perjam,” jelas Bambang.
Sebagai perbandingan, kata dia, Bandara Heathrow Inggris bisa mencapai 100 take off dan landing per jam setiap landasan pacu. Selain itu, waktu tunggu pesawat juga masih terlalu lama sehingga maskapai harus membayar banyak biaya tambahan.
“Penumpang sering kali menunggu lama di dalam pesawat sebelum terbang. Penyelenggara traffic angkutan udara sangat lamban, avtur menjadi boros dan produktivitas maskapai rendah,” tutur Bambang.
Dia menjelaskan tiket pesawat mahal karena pemerintah tidak menyiapkan bandara khusus untuk maskapai berbiaya hemat low cost carrier (LCC) sehingga terjadi pemborosan sangat besar. Bambang menilai masyarakat dirugikan karena harus bayar pajak bandara dan semua fasilitas pembelian selama di terminal dengan harga komersial untuk maskapai full service.
Kondisi tersebut juga menurutnya merugikan maskapai full service karena kesulitan pelayanan akibat banyaknya pesawat maskapai berbiaya hemat yang mendarat di terminal yang sama. “Campur aduk antara LCC dan full service ini membuat bandara padat sehingga tarif menjadi tidak menentu,” ujar Bambang.
Keempat, tarif tinggi menurutnya karena masyarakat sulit mendapatkan tempat duduk. Dia menegaskan saat ini kapasitas pesawat yang tersedia terbatas di rute-rute gemuk, terutama pada saat musim padat penumpang.
Kondisi tersebut menurut Bambang disebabkan semua maskapai menggunakan pesawat kecil di rute gemuk tersebut. “Seharusnya rute gemuk seperti Jakarta, Surabaya, Bali, Medan, Makassar, saat peak season menggunakan pesawat berbadan besar sehingga ada keseimbangan antara supply dan demand,” jelas Bambang.
Faktor kelima, lanjut Bambang, birokrasi dan perizinan cenderung highly regulated sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Bambang tidak heran walaupun Air Asia menjual tiket murah di Indonesia tapi bisa untung di atas Rp 1,5 triliun setiap tahunnya karena lebih banyak beroperasi di luar negeri yang tidak terjadi ekonomi biaya tinggi.
Harga wajar
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi beberapa waktu lalu mengatakan konsumen berhak atas tarif yang wajar. “Operator penerbangan yang berhadapan dengan konsumen perlu menerapkan tarif berkelanjutan dengan margin profit yang wajar,” kata Tulus.
Untuk memutuskannya, Tulus mengatakan pemerintah harus konsisten dalam menerapkan tarif batas atas (TBA) dan tarif batas bawah (TBB). Tulus menuturkan dalam pelaksanaan TBA dan TBB harus dinamis dengan peninjauan ulang secara berkala yaitu enam hingga 12 bulan.
“Peninjauan ini tentunya dengan mempertimbangkan aspek konsumen dan pertumbuhan industri penerbangan dalam negeri,” tutur Tulus.
Tulus menambahkan bahkan jika pemerintah saat ini bisa menghapus TBB tiket pesawat maka maskapai bisa jauh lebih fleksibel menjual harga tiketnya dengan lebih rendah. Sebab, lanjut Tulus, lazimnya di dunia penerbangan secara global yaitu tiket pesawat tidak diatur negara.
“Kalau persaingan diserahkan ke pasar harus ada wasit yang kuat dan struktur industri sudah harus sehat. Selama ini KPPU yang punya kompetensi, untuk mengatur industri,” ungkap Tulus.
Salah satu penyebab tingginya harga tiket adalah faktor mahalnya harga avtur. Menteri Perhubungan Budi Karya sempat meminta Kementerian Keuangan bisa memberikan kelonggaran PPN untuk avtur di Indonesia bagian Timur agar lebih murah. "Syukur-syukur kalau (PPN) hilang hingga harga avturnya murah sehingga operator tetap berjalan dengan avtur," ungkap Budi.
Pada dasarnya, Budi menegaskan pemerintah menginginkan industri aviasi di Indonesia lebih baik. Artinya, kata Budi, maskapai dapat terus bertahan, untung, dan tidak rugi.
"Tetapi mereka ini bisa melayani dengan tarif-tarif yang terjangkau. Ada yang memang bisnis dan lain. Oleh karenanya, kita mulai dari avtur," tutur Budi.
Infografis harga tiket pesawat akibat avtur.