Rabu 11 Dec 2019 06:04 WIB

Gambia Paparkan Kejahatan Terhadap Rohingya di ICJ

Diperkirakan 750 orang Rohingya termasuk anak-anak dibunuh di Rakhine.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
 Perwakilan dari komunitas Rohingya dan Menteri Kehakiman Gambia Aboubacarr Tambadou saat mendengarkan testimoni di Den Haag, Belanda, Senin (11/11).
Foto: AP / Peter Dejong
Perwakilan dari komunitas Rohingya dan Menteri Kehakiman Gambia Aboubacarr Tambadou saat mendengarkan testimoni di Den Haag, Belanda, Senin (11/11).

REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Tim hukum Gambia memaparkan kejahatan yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya dalam persidangan perdana di Pengadilan Internasional (ICJ), Den Haag, Belanda, Selasa (10/12).

Pengacara Gambia Andrew Loewenstein menjabarkan detail kejahatan tersebut melalui keterangan saksi yang tercantum dalam laporan tim misi pencari fakta independen PBB. Laporan itu memperkirakan terdapat 750 orang, termasuk lebih dari 100 anak berusia di bawah enam tahun, yang dibunuh di Negara Bagian Rakhine pada Agustus 2017.

Baca Juga

Salah satu keterangan saksi yang dikutip Loewenstein adalah perempuan Rohingya yang diperkosa. Pada Agustus 2017, perempuan tersebut memasuki rumah dengan empat tetangganya. Tiga di antara mereka memiliki bayi.

"Ada mayat di lantai: anak laki-laki muda dari desa kami. Ketika kami memasuki rumah, para tentara mengunci pintu. Seorang tentara memperkosa saya, dia menikam saya di belakang leher dan perut. Saya mencoba menyelamatkan bayi saya, yang baru berusia 28 hari. Tapi mereka melemparkannya ke tanah dan dia meninggal," kata Loewenstein mengutip keterangan saksi tersebut.

Menteri Kehakiman Gambia Abubacarr Tambadou yang juga menghadiri persidangan turut angkat bicara. Dia mengatakan tujuan negaranya membawa kasus dugaan genosida Rohingya ke ICJ adalah agar Myanmar menghentikan pembunuhan tak masuk akal terhadap etnis minoritas tersebut.

"Untuk menghentikan tindakan kebiadaban dan kebrutalan yang mengejutkan dan terus mengejutkan nurani kolektif kita. Untuk menghentikan genosida terhadap rakyatnya sendiri," ujar Tambadou.

Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi mendengarkan penjelasan dan penjabaran tim hukum Gambia perihal dugaan genosida Rohingya dengan raut tenang. Dia diperkirakan akan kembali menyanggah semua tuduhan dan dugaan tersebut.

Sementara itu, di luar ruang sidang ICJ, puluhan Rohingya berdemonstrasi menuntut keadilan bagi para korban. Namun, ada pula para pendukung Suu Kyi, salah satunya adalah Moe Moe Hnin.

Menurut dia, banyak orang di luar negeri yang menerima informasi keliru tentang apa yang terjadi di Rakhine. "Ya diktator militer telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di seluruh Myanmar. Ini bukan Myanmar, bukan orang Myanmar atau agama kami. Kami bukan rasialis," ujar Moe Moe Hnin.

Aksi dukungan terhadap Suu Kyi pun digelar di Yangon, Myanmar. Ribuan orang berpartisipasi dalam aksi tersebut. Myint Myint Thwin (58 tahun) menilai kedatangan Suu Kyi di ICJ adalah untuk negaranya. "Karena itu untuk menunjukkan dukungan kami dan bahwa kami berdiri bersamanya, kami bergabung dalam pawai ini," kata dia.

Gambia mengajukan kasus dugaan genosida terhadap Rohingya ke ICJ pada awal November lalu. Gugatan terhadap Myanmar diajukan Gambia dengan mengatasnamakan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Gambia menilai Myanmar telah melanggar Kovensi Genosida PBB. Myanmar dan Gambia merupakan negara pihak dalam konvensi tersebut. Gambia adalah negara pertama yang tidak secara langsung terimbas kejahatan kekejaman massal, tapi menggugat negara lain sebelum ICJ.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement