Selasa 10 Dec 2019 21:23 WIB

KPK: Penguatan Sistem Hukum Lebih Baik dari Hukuman Mati

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menanggapi wacana hukuman mati untuk para koruptor.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Bayu Hermawan
Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menilai, hukuman mati bukan jalan keluar dalam pemberantasan korupsi. Menurutnya, konsistensi dan komitmen dalam pengutan hukum serta pengadilan oleh negara, lebih efektik dalam sistem pencegahan sampai pemberantasan korupsi.

Hal tersebut disampaikan Saut, menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengatakan hukuman mati terhadap terpidana kasus korupsi bisa saja diberikan, jika masyarakat berkehendak. Namun, Saut menilai hukuman mati hanya retorika dalam wacana pemberantasan korupsi di Tanah Air.

Baca Juga

"Saya tidak tertarik bicara soal itu (hukuman mati)," kata Saut di Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Rasuna Said, Jakarta Selatan (Jaksel), Selasa (10/12).

Saut mengatakan, ketimbang berwacana tentang hukuman mati para pelaku korupsi, lebih baik mewacanakan tentang penguatan sistem pengadilan tindak pidana korupsi, dan memperkuat KPK dengan perubahan perundang-undangan. Menurutnya, dalam pemberantasan korupsi di Indonesia yang kompleks, membutuhkan sistem hukum kuat dan canggih, yang berdampak panjang serta menyeluruh.

Saut membayangkan, bagaimana sistem dan penegakan hukum pemberantasan korupsi yang kuat dan canggih tersebut, dapat menjerat pelaku di lintas kalangan. "Maka itu perlu kita revisi (memperkuat) UU Tipikor, dan UU KPK agar menjadi lebih baik lagi," ujarnya.

Saut pun tak setuju dengan dikotomi angka dan besaran dalam prilaku korup. Karena menurutnya, besar dan kecil angka yang dihasilkan dari prilaku yang korup, tetaplah korupsi. "Kita semua punya bertanggungjawab untuk membawa semua orang yang melakukan korupsi ke pengadilan, tanpa memandang besar atau kecilnya (hasil) korupsi itu," sambung dia.

Wacana hukuman mati para pelaku korupsi sebetulnya bukan isu baru dalam penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Sistem hukum di Indonesia, dalam kategori kejahatan serius dan luar biasa, memang masih menerapkan hukuman mati, seperti narkoba. Namun dalam perkara korupsi yang juga dikategorikan sebagai kejahatan serius, dan luar biasa, belum pernah ada satupun pelaku yang didakwa mati.

Sebelumnya, saat menghadiri peringatan hari antikorupsi sedunia 2019, pada Senin (9/12), Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menyinggung soal hukuman mati terhadap para pelaku korupsi. Ia mengatakan, hukuman mati terhadap koruptor bisa diterapkan asalkan rakyat menghendaki. Ucapan Presiden itu, berasal dari pertanyaan seorang siswa yang menanyakan mengapa Jokowi tak menerapkan hukuman mati terhadap para terpidana korupsi.

Jokowi pun mengatakan, saat ini undang-undang yang mengatur soal hukuman mati belum ada yang memberikan sanksi hukuman mati kepada para terpidana pelaku korupsi. Sehingga, perlu ada revisi soal UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dibahas bersama DPR.

"Itu yang pertama kehendak masyarakat. Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU Pidana, UU Tipikor itu dimasukkan," ujar Jokowi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement