REPUBLIKA.CO.ID, Dua kalimat syahadat (syahadatain) yang merupakan kunci pembuka seseorang yang ingin masuk agama Islam, sekaligus merupakan rukun pertama dari arkanul Islam yang lima, sesungguhnya mengandung makna transendental vertikal dan mengandung implikasi horizontal.
Dengan mengikrarkan kalimat syahadat yang pertama (kalimat tauhid) seseorang telah berjanji dengan sepenuh hati, bahwa ia hanya akan melakukan pengabdian sekaligus memohon pertolongan hanyalah kepada Allah SWT, dan tidak kepada selain-Nya.
Dialah Zat yang Mahakuasa, Mahaperkasa, Mahapemberi, sekaligus Mahapengasih dan Mahapenyayang. Hidup dan kehidupannya sepenuhnya bergantung kepada-Nya dan tidak kepada makhluk-Nya, seperti kepada para dukun tukang peramal nasib, kepada benda-benda keramat atau kepada binatang-binatang tertentu yang disakralkan.
Kalimat tauhid ini akan mengantarkan pula kepada suatu keyakinan yang mantap, bahwa ketundukan yang mutlak absolut itu hanyalah kepada Allah SWT. Kepada manusia, meskipun kepada para pemimpinnya, ketundukannya itu hanyalah bersifat relatif.
Ia akan tunduk dan patuh, manakala pemimpin itu berperilaku sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, manakala menyimpang jauh dari garis kebenaran, maka tidak ada kepatuhan dan ketundukan kepadanya. Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah saw bersabda, ''Tidak ada ketaatan kepada makhluk manakala bermaksiat kepada Khalik (Allah SWT).''
Dalam pandangan Muslim dan Mukmin yang bertauhid, semua manusia itu sama, mungkin benar, mungkin salah. Karena itu, sangatlah ganjil dan aneh serta bertentangan dengan pernyataan syahadatnya yang pertama, apabila ada seorang Muslim yang mengaku bertauhid, tetapi mensakralkan pemimpinnya. Jangankan benar, salah pun selalu dianggap benar. Seolah-olah pemimpin itu suci dan makshum (dijamin oleh Allah SWT tidak akan melakukan kesalahan). Padahal, yang makshum itu hanyalah para Rasul dan Nabi Allah (semoga Allah SWT melimpahkan shalawat dan salam kepada mereka).
Syahadat yang kedua mengantarkan seorang Muslim pada keyakinan bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah SWT, ialah figur yang patut dijadikan teladan dalam segala aktivitas kehidupan (QS 33: 21).
Bukti keimanan dan kecintaan kepada Allah SWT, adalah ittiba' (mengikuti dengan sungguh-sungguh) kepada Rasulullah saw. Perhatikan firman-Nya, Katakanlah: Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Zat Yang Mahapengampun dan Mahapenyayang. (QS 3: 31).
Di tengah-tengah berbagai persoalan hidup yang semakin kompleks dan berat, marilah kita bersama meningkatkan penghayatan terhadap makna syahadatain yang selalu kita baca pada setiap kali kita shalat (pada waktu tasyahhud), agar kita menjadi Muslim dan Mukmin yang memiliki karakter dan kepribadian yang Islami. Wallahu a'lam bis-shawab.