Senin 16 Dec 2019 14:04 WIB

Target Jokowi Mencapai Penurunan Angka Stunting

Jokowi mengingatkan bahaya stunting mengintai SDM Indonesia masa depan.

Rep: Dessy Suciati Saputri/Farah Noersativa/Antara/ Red: Indira Rezkisari
Anggota Ikatan Konselor Laktasi Klaten mengukur postur tinggi bocah dan memberikan sosialiasi pemberian gizi bayi untuk mencegah kegagalan tumbuh kembang anak (stunting) saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Klaten, Jawa Tengah, Minggu (22/4).
Foto: Antara/Maulana Surya
Anggota Ikatan Konselor Laktasi Klaten mengukur postur tinggi bocah dan memberikan sosialiasi pemberian gizi bayi untuk mencegah kegagalan tumbuh kembang anak (stunting) saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Klaten, Jawa Tengah, Minggu (22/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan angka stunting yang diakibatkan karena kurangnya gizi turun hingga angka 14 persen pada lima tahun ke depan. Untuk menekan angka stunting yang saat ini masih sangat besar, Jokowi meminta agar pemerintah daerah harus lebih memberikan perhatiannya.

"Hati-hati dengan ini. Pemerintah daerah harus ikut campur, terutama yang petanya merah. Semua daerah, semua provinsi ada semuanya," ujar Jokowi saat membuka Musrenbangnas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di Istana Negara, Jakarta, Senin (16/12).

Baca Juga

Saat ini angka stunting di Indonesia menurun menjadi 28 persen dari 37 persen pada lima tahun yang lalu. Karena itu, ia meminta agar angka stunting terus ditekan semakin menurun. Pembangunan kualitas sumber daya manusia menjadi fokus utama pemerintah dalam lima tahun ke depan agar dapat bersaing dengan negara lain.

"Urusan yang berkaitan dengan kematian ibu dan anak tolong menjadi perhatian besar kita. Angka kita masih gede sekali urusan ini. Angka kematian ibu coba dilihat, masih tinggi sekali. Ini ada yang perlu kita perbaiki di sini," tambah Jokowi.

Untuk membantu meningkatkan gizi, Jokowi meminta agar di setiap sekolah kembali membagikan makanan dan minuman sehat kepada siswa siswinya. Seperti kacang hijau, telur, ayam, dan lainnya. Setelah anak-anak mendapatkan gizi yang baik, maka pemerintah perlu memberikan pendidikan keterampilan.

"Hati-hati, informasi Bank Dunia, 54 persen tenaga kerja kita sekarang terkena stunting, dulunya. Ini kita tidak mau kejadian seperti itu. Ke depan SDM kita harus bebas dari stunting," ucapnya.

Presiden pun meminta agar pemerintah daerah turut mendukung program pemerintah ini. Termasuk juga mendukung program Kartu Pra Kerja yang akan mulai dikeluarkan pada tahun depan.

"Saya minta juga didukung pemda. Kalau Kartu Pra Kerja berhasil artinya kita melakukan training berhasil. Kalau tidak berhasil kerja, untuk apa training sehingga yang namanya penanaman modal, investasi, tolong bapak ibu mengerti tujuannya ke mana," kata Jokowi.

Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Percepatan Pencegahan Stunting 2019 menargetkan menurunkan angka stunting hingga di bawah 20 persen pada 2024. Pemerintah mengupayakannya dengan melakukan strategi untuk melakukan percepatan penurunan angka stunting.

Strategi yang diambil untuk percepatan tersebut adalah dengan mendorong dan memperkuat usaha konvergensi intervensi terhadap penyebab langsung atau dengan intervensi gizi spesifik. Lalu, pemerintah akan melakukan usaha konvergensi intervensi terhadap penyebab tidak langsung atau intervensi gizi sensitif.

Berdasarkan kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), angka stunting yang tinggi menyebabkan negara kehilangan potensi pendapatan sekitar Rp 250-300 triliun atau tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per tahun. Hal ini disebabkan berkurangnya produktivitas anak yang mengalami stunting, sehingga berisiko kehilangan penghasilan 20 persen ketika dewasa.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan, stunting masih menjadi masalah yang jamak terjadi di Indonesia. Hanya ada enam kabupaten/kota yang tidak berperang melawan stunting di Indonesia.

"Dari 516 kabupaten/kota di Indonesia, baru ada enam yang tidak masuk kriteria stunting. Berarti masih ada 510 kabupaten/kota yang masih harus melawan stunting, termasuk Ibu Kota Jakarta," kata Komisioner KPAI Sitti Hikmawatty.

Sitty mengatakan, dari data 2017, daerah yang mengalami prevalensi tertinggi masih berada di Indonesia bagian timur, seperti NTT dengan prevalensi stunting 40,3 persen dan juga Sulawesi Barat. Sitti mengatakan, suatu daerah tidak masuk kategori stunting jika prevalensi kekerdilannya di bawah 20 persen, seperti yang ditetapkan oleh WHO.

Ada pun daerah-daerah yang tidak masuk kriteria stunting antara lain, Tomohon, Denpasar, Jambi, dan Klungkung. Menurut pemantauan KPAI, ada beberapa hal yang menyebabkan penurunan angka stunting di daerah-daerah masih cukup sulit, misalnya masalah infrastruktur, sulitnya mengakses fasilitas kesehatan, masalah sanitasi, dan juga BPJS Kesehatan yang belum terdistribusi dengan benar.

Penyebab stunting

Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (FEMA-IPB) Prof Dr Ir Ujang Sumarwan Msc mengungkapkan salah satu penyumbang kasus stunting di Indonesia. Menurutnya, kasus anak kerdil dibanding usianya stunting banyak ditemukan pada keluarga yang menikah usia muda.

"Ketidaksiapan secara fisik dan mental pada ibu yang hamil pada usia muda mengakibatkan berbagai tantangan selama proses kehamilan hingga melahirkan," kata Ujang di Bogor.

Dalam jangka panjang, terbatasnya pengetahuan ibu tentang pentingnya persiapan gizi pada masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan juga meningkatkan risiko anak mengalami gangguan pertumbuhan hingga stunting. Terkait hal itu, Ujang mengatakan walau ekonomi terus tumbuh, di bidang gizi dan kesehatan, Indonesia masih dihadapkan dengan berbagai tantangan termasuk stunting.

"Saya meyakini edukasi remaja adalah sebuah terobosan karena peningkatan pengetahuan gizi sebelum memulai keluarga akan berkontribusi pada kesadaran akan kesehatan ibu dan anak di masa penting dalam kehidupannya, termasuk memutus rantai persoalan stunting," ujar dia.

Susu dan telur

Mengonsumsi protein hewani penting untuk mencegah atau menurunkan prevalensi stunting pada balita. Dr Marudut Sitompul dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) menyampaikan, asupan protein paling baik dapat diperoleh dari sumber protein hewani, yaitu telur dan susu.

Kedua sumber protein tersebut, menurut Marudut, memiliki nilai cerna dan bioavailabilitas paling tinggi serta asam amino esensialnya lebih lengkap untuk mendukung pertumbuhan linear anak-anak. Ia menyebut, pada kenyataannya, asupan protein hewani pada anak-anak di Indonesia tergolong rendah dan kondisi tersebut berkontribusi terhadap tingginya prevalensi stunting.

"Anak yang tidak mengonsumsi jenis protein hewani apapun memiliki risiko lebih besar untuk mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang mengonsumsi tiga jenis protein hewani, yaitu telur, daging, dan susu," ungkap Marudut.

Dibandingkan makanan sumber protein hewani lainnya, menurut Marudut, susu adalah yang paling erat hubungannya dengan angka stunting yang rendah. Itu karena konsentrasi plasma insulin-like growth factor (IGF-I) dan IGF-I/IGFBP-3 pada anak usia dua tahun secara positif berkaitan dengan panjang badan dan asupan susunya.

Marudut mengungkapkan, di Indonesia usia pemberian susu tergolong terlambat karena banyak setelah anak berusia lebih dari satu tahun. Kondisi ini meningkatkan risiko stunting sebanyak empat kali pada anak usia 2 tahun.

Kondisi stunting akan berdampak serius bagi kesehatan anak baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak jangka pendek meliputi perkembangan tubuh anak yang terhambat, performa anak yang menurun di sekolah, peningkatan angka kesakitan, dan risiko kematian.

Dalam jangka panjang, stunting dapat menyebabkan obesitas, peningkatan risiko penyakit tidak menular, bentuk tubuh pendek saat dewasa, serta penurunan produktivitas dan kualitas hidup anak di masa mendatang.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement