REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia akan melanjutkan perannya sebagai Presiden Dewan Keamanan (DK) PBB pada Agustus 2020 dengan mengangkat tema "Penanggulangan Terorisme". Melalui tema tersebut, Indonesia yang terpilih sebagai anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-2020, akan menyasar perbaikan metode kerja dari rezim sanksi terkait penanggulangan terorisme dan mendorong upaya pendekatan lunak (soft approach) dalam penanganan terorisme.
Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri Grata Endah Werdaningtyas menyebut dua hal itu penting didiskusikan lebih lanjut mengingat rezim sanksi di DK PBB cenderung menggunakan pendekatan keras (hard approach), dan seringkali tidak mengindahkan dampak kemanusiaan.
“Kalau sudah masuk daftar teroris DK itu seperti tidak bisa keluar. Padahal ada dampak kemanusiaan dengan masuknya seseorang ke dalam daftar sanksi, terutama terhadap keluarganya,” kata Grata dalam temu media di Jakarta, Senin (16/12).
Sedangkan terkait penggunaan soft approach, Resolusi 2396 DK PBB mengenai pejuang teroris asing (FTF) sebenarnya mulai menekankan pada aspek multidimensional. Yaitu isu ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan memberi sanksi kepada seseorang tetapi juga menangani akar penyebab terjadinya migrasi seseorang sebagai FTF.
Menurut Grata, perlu diangkat pembahasan mengenai proses pencegahan di dalam negeri agar warganya tidak bermigrasi menjadi FTF dan membangun resiliensi suatu negara pada saat mantan FTF kembali ke tanah airnya.
“Hal-hal semacam ini yang sebenarnya menjadi warna Indonesia, karena kalau dilihat negara lain sebagian besar menggunakan hard approach, sementara kita bisa mengombinasikan dengan soft approach,” ujar dia.
Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai Presiden DK PBB, Indonesia ingin menunjukkan kepada dunia tentang penanganan terorisme secara komprehensif dan sesuai penegakan hukum, dengan tetap mempertimbangkan penghormatan terhadap HAM.
Dengan menangani terorisme berdasarkan penegakan hukum, kecenderungan untuk melakukan hal-hal di luar koridor HAM menjadi semakin kecil.
“Ini yang akan kita angkat, menunjukkan kepada dunia bahwa efektivitas penanganan terorisme dengan mengacu pada penegakan hukum akan lebih berkelanjutan daripada kalau kita melakukan extrajudicial. Ini pesan yang ingin Indonesia sampaikan,” Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Febrian A Ruddyard.
Indonesia memulai tugas sebagai anggota tidak tetap DK PBB sejak 1 Januari 2019 dan akan berakhir pada 31 Desember 2020. Dalam presidensi pertamanya pada Mei 2019, Indonesia mengangkat tema “Menabur Benih Perdamaian”, yang menghasilkan dokumen mengenai peningkatan kapasitas misi perdamaian PBB. Selain itu, dihasilkan pula metode kerja Sofa Talk yang berbentuk pertemuan informal di antara seluruh perwakilan DK PBB tanpa adanya agenda khusus.
Keanggotaan di DK PBB merupakan yang keempat kalinya, setelah sebelumnya Indonesia menjadi anggota tidak tetap DK PBB pada 1974-1975, 1995-1996, dan 2007-2008.
Aksi bersama
Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia Retno LP Marsudi menegaskan perlunya aksi bersama untuk mendorong dialog global yang mempromosikan toleransi dan perdamaian. Dalam pengesahan resolusi Sidang Majelis Umum (SMU) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Retno mengatakan, tidak ada satu pun negara yang terbebas dari rasisme, intoleransi, dan kebencian.
"Sehingga sangat dibutuhkan dialog yang isunya mengedepankan toleransi dan oerdamaian," ujar Menlu saat pengesahan SMU PBB untuk memerangi terorisme dan tindakan kekerasan yang dimotivasi oleh kebencian terhadap agama di New York awal tahun ini.
Upaya tersebut, kata Retno termasuk memajukan dialog antaragama dan antarperadaban di dunia. Sebagai negara yang terdiri dari berbagai ras, suku etnis, dan agama, Indonesia pun menyampaikan kesiapan berbagi pengalaman menyoal kultur kebinekaan yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
"Dalam hal ini pula, Indonesia merupakan salah satu dari co-sponsor resolusi yang dengan tegas menyikapi aksi terorisme di Christchurch, Selandia Baru pada tanggal 15 Maret 2019," katanya. Indonesia mengecam keras aksi terorisme yang menyebabkan 50 korban meninggal, termasuk satu orang warga negara Indonesia, serta puluhan korban cedera lainnya.
Sebelumnya, pada tanggal 15 Maret 2019, Indonesia bersama Kuwait telah mensponsori Press Statement DK PBB yang mengutuk kejadian keji tersebut. Dengan telah disahkannya Resolusi SMU PBB melalui konsensus, maka upaya Indonesia untuk menyikapi secara cepat dan tegas aksi terorisme di Christchurch telah berhasil mendapatkan dukungan lebih luas dari negara-negara di dunia.
Pada saat yang sama, Menlu Retno menggarisbawahi pentingnya peran pemerintah dalam menciptakan dan memelihara budaya toleransi di kalangan masyarakat. "Untuk itu, saya mengapresiasi kepada pimpinan dan masyarakat Selandia Baru yang cepat bereaksi dan menunjukkan solidaritasnya terhadap umat Muslim pascaaksi terorisme di Christchurch," tutup Retno.
Infografis Indonesia di DK PBB.