Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Mungkin bagi banyak orang yang bermental gagah perkasa, menyatakan ’Tuhan Tak Perlu Dibela’. Sebab, kalau Tuhan memerlukan pembelaan berati ‘Dia’ bukan dzat Maha Perkasa.
Tapi di sisi lain, banyak orang mengatakan sebaliknya: Tuhan atau agama perlu dibela. Mendiang Buya Hamka dahulu mengatakan bila ada seorang Muslim tak terusik akan penderitaan sesama Muslim atau agama dilecehkan, maka dia lebih layak pakai kain kafan saja.
Di masa sekarang dua hal ini bertarung terus. Istilahnya ada ‘perang pikiran’. Siapa yang percaya akan mengambil sikap dan siapa yang tak percaya dia tak tergerak. Di sini terbukti pikiran itu menjadi beban penderitaan. Dan makin menyakitkan apabila yang dipikirkan itu adalah sesuai yang dimiliki dengan penuh cinta.
Okey, kalau sekedar soal bela membela Tuhan masih ada debat, tapi kalau soal membela kemanusian seharusnya tak ada diperdebatkan. Apalagi di zaman dunia yang ‘semakin datar’ dan dilipat menjadi kampung dunia. Musuh utama umat manusia hari ini adalah usaha untuk memusnahkan nilai kemanusian.
Identik dengan ini, dahulu di paruh tengah tahun 1960-an ada ‘flamboyan juara duna tinju kelas berat’ yang bernama Casius Clay atau Muhammad Ali. Entah kerasukan apa tiba-tiba Ali menjadi pejuang kemanusian. Dia mengkritik berbagai hal soal ketimpangan perang, ideologi, rasisme, dan berbagai hal lainnya.
Hebatnya, Ali mengkritik pemerintah negaranya sendiri Amerika Serikat yang saat itu tengah berproses menjadi super power dan polisi dunia. Dia menolak ikut wajib militer untuk berperang ke Vietnam. Ali dengan ketus menyatakan bagi orang kulit hitam seperti dirinya tidak pernah punya musuh dengan Vietkong atau orang Vietnam. Katanya, soal perang atau isi itu hanya kerjaan orang kulit putih belaka.
‘’Ingat, anda perlu tahu, saya tak punya musuh sama orang Vietnam. Ingat semua hal yang berbau hitam itu selalu buruk dari istilah ‘blak mail’ sebagai surat ancaman, hingga kue yang manis bukan dikatakan kue yang hitam tapi ‘White Cake’. Bahkan Tarzan yang hidup dengan binatang rimba dan orang Afrika kulitnya putih. Putri yang cantik pun selalu dikatakan punya kulit yang tak hitam alias ’White Snow’. Jadi untuk apa saya perang ke Vietnam,’’ kata Ali saat itu berapi-api.
Pernyataakn Ali sontak membuat geger. Dia dituduh tidak nasionalis. Gelar juaranya dicopot. Bahkan dia terancam masuk penjara segala. Tapi Ali tak peduli. Dan di kemudian hari sikapnya terbukti benar. Dia menjadi sosok legenda yang menginspirasi dunia. Olah raga keras, yakni tinju, berubah wajah menjadi humanis yang berbayar sangat mahal.
Nah, sekarang peran Ali dipegang oleh pesepak bola Jerman keturunan Turki yang kini bermain di klub Arsenal, Inggris. Dia ‘mencuit’ di Tweeter mengenai pendeitaan Muslim Ugihur. Dia mengkritik negara-negara Islam yang cenderung diam saja seolah membiarkan kekerasan atau dehumanisasi terus berlangsung. Dia megkritik keras pemerintah Cina yang kini tengah berproses menjadu super power dunia. Apa yang dilakukan Oezil persis apa yang dilakukan Ali pada masanya.
Sama dengan Ali, akibat ciutan Oezil masyarakat duna terbuka matanya yang selama in seperti setengah tertutup. Pemerintah Cina yang berideologi komunis tapi mempraktikan kapitalis, marah beras. Laman BBC.Com menyebutkan begini:
Setelah pertandingan Arsenal akhir pekan lalu dibatalkan penayangannya di China, kini gelandang Arsenal Mesut Oezil dihilangkan dari gim Pro Evolution Soccer 2020 yang beredar di China.
Tindakan itu terjadi lantaran kritik Oezil terkait perlakukan terhadap minoritas Muslim Uighur di China.
Reaksi dunia sepak bola terkait pesoalan minoritas Uighur juga memasuki babak baru.
Klub sepak bola Jerman, FC Koln, menghentikan pembangunan akademi mereka di China. Pejabat senior di klub itu menyatakan bahwa "hak asasi manusia sangat tidak dihargai" di negeri itu.
Namun klub tersebut menyatakan alasan penghentian adalah evaluasi ulang terhadap alokasi sumber daya.Mereka juga mengatakan bentuk kerja sama lain, semisal sponsor dari perusahaan China, akan tetap diterima.
Wartawan Republika, Bayu Hermawan, akibat isu ini mendadak terkenal. Namanya disebut-sebut dalam tulisan Wall Street Jurnal tentang Uighur itu. Namun, hal sama para penulis di Republika yang pernah berkunjung ke Uighur sebenarnya juga berkisah senada. Mereka juga melihat ada yang tak beres di sana. Meski tak bisa diajak bicara —karena orang Uighur terus mengelak bila diajak ngobrol— mereka mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan di sana.
Seorang sahabat yang sempat pulang dari Uighur mengatakan memang aneh ketika ada ormas Islam Indonesia mengatakan tidak ada pelanggaran HAM yakni kebebasan menjalankan agama di tempat itu.
‘’Ketika baru pulang dari Uighur dan ada Ormas Islam yang berkata ‘aneh’ itu saya langsung kebanjiran protes dari berbagai kawan di luar negeri. Kok begitu ya Ormas Islam Indonesia? Dan dia menjawab: Ya saya tidak tahu kok mereka begitu. Kan saya pergi ke Uighur bukan atas undangan pemerintah Cina. Kami pergi sendiri,’’ katanya.
Akhirnya, jangan kaget bila Oezil kini sepopuler Ali dikalangan kaum Muslim. Dan juga jangan kaget bila ada suara-suara miring terhadap ormas Islam Indonesia atas kasus Uighur.
Apa ini soal duit dan politik ya? Entahlah. Walallahu’Alam