REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional, Iswan Abdullah mengaku tidak dilibatkan sama sekali tentang pembahasan omnibus law khususnya terkait pengupahan per jam. Hal itu diungkapkannya ketika konferensi pers bersama serikat pekerja lainnya, di LBH Jakarta, Sabtu (28/12).
"Dalam sistem pengupahan nasional, tidak ada namanya upah per jam. Tidak ada pembahasan bahwa upah di negara kita diberlakukan dengan per jam," kata Iswan menegaskan.
Ia mengatakan, apabila peraturan upah per jam diberlakukan maka akan berimplikasi pada tidak ada lagi upah minimum. Padahal, upah minimum memiliki fungsi sebagai jaring pengaman agar tidak ada pekerja Indonesia yang miskin secara struktural.
Selain itu, dengan adanya upah per jam, Iswan mengatakan, beban pengusaha untuk membayarkan jaminan sosial menjadi tidak ada. Sebab, selama ini yang menjadi standar adalah upah minimum. "Ini kan berbahaya. Kalau ini terjadi sudah bsia dipastikan akan terus terjadi defisit BPJS Kesehatan kita," kata dia lagi.
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal memgatakan proses pembuatan omnibus law ini mencerminkan cara pengusaha yang tidak ingin melibatkan siapapun. Pengusaha terkesan takut melibatkan serikat buruh dalam pembuatan peraturan ini.
"Dilibatkan cuma dipanggil doang. Dipanggil, dicatat, bukan berarti kami diskusi," kata Said, dalam kesempatan yang sama.