Senin 30 Dec 2019 14:00 WIB

Sosok di Balik Catatan Ilmu Sang Pendiri Muhammadiyah

KH Raden Hadjid di balik terjaganya catatan ilmu pendiri Muhammadiyah.

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
KH Raden Hadjid merupakan di antara murid yang mencatat ilmu dari KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.
Foto: Blogspot.com
KH Raden Hadjid merupakan di antara murid yang mencatat ilmu dari KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ikatlah ilmu dengan tulisan. Begitulah bunyi salah satu sabda Rasulullah dalam sebuah hadis shahih. Anjuran Nabi SAW tersebut diamalkan betul oleh salah satu murid dari Kiai Ahmad Dahlan, yaitu KH Raden Hadjid. Dia adalah murid termuda pendiri Muhammadiyah tersebut. 

Kiai Hadjid sangat rajin mencatat ajaran apa saja yang disampaikan Kiai Dahlan. Di antara catatannya tentang pelajaran dari Kiai Dahlan dituangkan dalam buku berjudul “Falsafah Peladjaran KH. Ahmad Dahlan”dan “Adjaran KH A Dahlan dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Qur’an”.

Baca Juga

Karya Kiai Hadjid itu pun menjadi warisan intelektual Kiai Dahlan. Karena itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah membukukan ulang dua karya tersebut menjadi satu buku dengan judul “Pelajaran KHA Dahlan 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an”.

Di kalangan Muhammadiyah sendiri, Kiai Hadjid dijuluki sebagai “Singanya Muhammadiyah”. Ketika berpidato, dia menyampaikannya dengan semangat yang berapi-api. Karena itu, di masa-masa tuanya Kiai Hadjid kemudian kerap disebut sebagai Jago Tuanya Muhammadiyah.  

Kecintaan Kiai Hadjid terhadap dunia tulis menulis juga disalurkan melalui majalah-majalah Islam yang terbit di zamannya. Ketika Kiai Dahlan menggagas untuk menerbitkan Suara Muhammadiyah pada 1942, Kiai Hadjid pun ditunjuk menjadi anggota redaksinya.  

Dalam buku berjudul "100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi" dijelaskan, KH Raden Hadjid merupakan seorang kiai kelahiran Kauman yang memiliki keberanian, istiqamah, dan wara’ah. Dia merupakan putra pertama dari pasangan RH Djaelani dengan R Ngt Muhsinah. 

Kiai Hadjid lahir pada 20 Agustus 1898 Masehi. Pendidikan formalnya dimulai dari Sekolah Dasar pada 1903 sampai 1909. Kemudian, dia diajak oleh ayahnya pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus menuntut ilmu.  

Di kota suci ini, Kiai Hadjid belajar agama Islam kepada ulama-ulama besar, seperti Kiai Fakih, Kiai Humam, dan Kiai Al Misri selama satu tahun. Setelah itu, dia pulang ke Tanah Air menuju Yogyakarta. Sepulangnya dari tanah suci, Hadjid muda telah banyak berubah. 

Keilmuannya pun sudah meningkat. Dia telah pandai dalam hal baca tulis bahasa Arab dan pandai mengaji Alquran. Namun, dia merasa masih dahaga terhadap ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu keislaman.  

Karena itu, ketika di Tanah Air dia pun melanjutkan pendidikan agamanya di Pondok Pesantren Jamsaren Surakarta, Jawa Tengah. Salah satu pondok pesantren tertua di Pulau Jawa ini didirikan pada 1750 atas prakarsa Sunan Pakubuwono ke-IV.  

Saat itu Sunan Pakubuwono IV mendatangkan Kiai Jamsari yang diduga dari Banyumas untuk mengasuh pondok pesantren ini. Karena itulah pesantren ini diberi nama Pondok Pesantren Jamsaren dan masih eksis sampai sekarang.    

Di Pesantren Jamsaren, Hadjid muda memperdalam ilmu keislaman, seperti ilmu tajwid, qira’at, tafsir, fikih, nahwu, sharaf, dan lain-lain. Saat mondok di pesantren ini, dia juga berjumpa dengan KH Ghozali yang di kemudian hari mendirikan Pondok Pesantren Nirbitan, yang letaknya tidak jauh dari Pesantren Jamsaren.  

Setelah belajar di Jamsaren, Hadjid kemudian melanjutkan studinya di Pondok Pesantren Tremas dan sekolah di Madrasah Menengah Tinggi pada 1913 sampai 1915. Di pesantren ini, Hadjid belajar kepada Kiai H Dimyati dan Kiai Bisri.  

Kedua gurunya tersebut merupakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang terkenal. Di Pesantren Tremas inilah para kiai NU dan Kiai Muhammadiyah banyak belajar, seperti, Kiai Basyir, Kiai Haji Ahmad Azhar, Kiai H Wahid, dan Kiai H Badawi.   

Selepas dari Pondok Pesantren Termas, Hadjid lalu belajar di Madrasah Tinggi Al Atas Jakarta pada 1917 selama empat tahun. Saat Berusia 20 tahun, Hadjid kemudian menikahi seorang gadis bernama Siti Wasilah binti RH Ahyat.   

Pernikahan berlangsung pada 19 Januari 1918 secara khidmad dan sederhana. Siti Wasilah adalah murid perempuan pertama di Sekolah Qismul Arqa’ yang didirikan oleh Kiai Dahlan. Sekolah itulah yang menjadi cikal bakal dan kemudian bernama Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah.  

Menurut Badilah Zuber, Siti Wasilah juga merupakan murid perempuan yang memiliki catatan lengkap ajaran Kiai Dahlan. Karena itu, Kiai Fajlab menunjuk Siti Wasilah menjadi Ketua pertama Siswo Proyo, yang kemudian menjadi Nasyiatul ‘Aisyiyah.  

Setelah lulus dari Madrasah Tinggi Al Atas Jakarta, baru Hadjid belajar tentang keorganisasian kepada Kiai Ahmad Dahlan. Saat berguru kepada Kiai Dahlan, Hadjid pun diangkat sebagai guru di Standaard School Muhammadiyah dan HIS Muhammadiyah. Lalu pada 1921 sampai 1924, Hadjid menjadi guru agama pada Kweekschool Muhammadiyah. 

Karirnya dalam pendidikan Islam terus meningkat. Pada 1924-1941, Hadjid kemudian diangkat sebagai Kepala Madrasah Muallimin Muhammadiyah. Kemudian, pada masa penjajahan Jepang, dia mendapatkan amanah sebagai Fuku Sumuka Tjo Koti Zimokyoku (Kantor Lembaga Agama) yang berlokasi di Kotabaru Yogyakarta, tepatnya pada 1942-1945.  

Pada saat itu banyak para ulama dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat yang ditangkap Jepang dan disiksa secara kejam. Ketika menjabat sebagai Fuku Sumuka, Kiai Hadjid pun memiliki kesempatan untuk membebaskan para kiai dan ulama. Kiai Hadjid dan para ulama yang terkoordinir pada lembaga ini berjuang untuk mengadakan pembelaan dan perlawanan.  

Pada 1945-1946, Kiai Hadjid kemudian dipercaya untuk menduduki jabatan sebagai Wakil Kepala Jawatan Agama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).  Kemudian, Kiai Hadjid menjadi dosen Sekolah Tinggi Islam (sekarang UII), tepatnya pada 1946-1947.

Sekolah Tinggi Islam tersebut merupakan hasil pemikiran para intelektual dan ulama saat itu. Atas prakarsa Masyumi diundanglah tokoh-tokoh dari NU, Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam (PUI), dan Lembaga Resmi Agama Jepang yang nantinya menjadi Depertemen Agama.   

Lembaga pendidikan ini awalnya direncanakan akan dibuka pada 8 Juli 1945 di Gondangdia, Jakarta. Namun, situasi politik saat itu tidak kondusif, sehingga pembukaan Sekolah Tinggi Islam itu ditunda. Sekolah Tinggi Islam itu baru bisa dibuka secara resmi pada 10 April 1946.   

Acara peresmian itu dihadiri semua dewan pimpinan, para pejabat dan Presiden Soekarno. Pada upacara yang berlangsung di Dalem Pengulon Yogyakarta itu, Kiai Hadjid pun memberikan kuliah umum tentang ilmu tauhid.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement