REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) Prof KH Zainal Abidin MAg di Palu, Selasa (7/1) mengemukakan tokoh agama di semua agama perlu terlibat membantu pemerintah mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, diawali dengan mengubah paradigma masyarakat yang bias gender.
"Tingginya tingkat kekerasan berbasis gender, serta pernikahan usia anak adalah dua hal yang masing-masing korbannya pada umumnya adalah kaum perempuan. Hal ini terjadi diduga karena paradigma masyarakat kita masih memandang kaum perempuan dalam posisi yang tidak setara dengan kaum laki-laki (bias gender)," jelasnya.
Pernyataan Prof Zainal berkaitan dengan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( DP3A) Sulteng yang menyebut terdapat 1.859 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam kurun waktu empat tahun terakhir, yaitu 2016 hingga 2019.
DP3A merinci, pada 2016 jumlah kekerasan terhadap perempuan sebanyak 483 kasus, kemudian pada 2017 menjadi 699 kasus atau meningkat 44,7 persen, 2018 berjumlah 434 kasus, dan 243 kasus pada Tahun 2019.
Berkaitan dengan data itu, Prof Zainal yang merupakan rektor pertama IAIN Palu sekaligus guru besar Pemikiran Islam Modern menyebut langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengubah paradigma yang bias gender tersebut.
Di sinilah arti penting tokoh agama dalam memainkan perannya khususnya dalam memberikan klarifikasi terhadap pemahaman teks-teks keagamaan yang bias gender. "Paradigma masyarakat itu sendiri dibentuk oleh kultur (tradisi), tingkat pendidikan, dan pemahaman keagamaan/keyakinan," katanya.
Ketua FKUB Sulawesi Tengah itu menyebut tokoh lintas agama, termasuk adat dan masyarakat, perlu merekonstruksi paradigma kultural masyarakat dalam memaknai perbedaan gender.
"Hal ini harus dilakukan secara sistematis mulai dari lingkungan keluarga, lembaga pendidikan, lingkungan sosial, dan lingkungan kerja hingga pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak diskriminatif gender," kata Rais Syuriah Nahdlatul Ulama Sulteng itu.
Dia menerangkan, tokoh lintas agama, perlu melakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan yang selama ini ditafsirkan secara harfiah dan bias gender dengan mengedepankan pendekatan subtantif terhadap ajaran agama yang pada prinsipnya menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia (laki-laki dan perempuan), dan prinsip-prinsip keadilan sosial.
"Termasuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang dampak buruk dari pernikahan usia anak," katanya.
Dia menambahkan, tokoh lintas agama perlu mereformulasi paradigma berpikir masyarakat dalam melihat makna suci pernikahan bukan sekadar untuk memenuhi gengsi sosial. Menikah diusia dewasa bukanlah aib, sebaliknya menciptakan keluarga berantakan karena ketidakdewasaan, adalah “aib besar” bagi keluarga.