REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- KH Ilyas Ruhiat, sosok kharismatik dari Cipasung Tasikmalaya ini adalah seorang ajengan atau kiai yang turut berkontribusi dalam pembinaan umat lewat pendidikan pesantren dan ormas Islam. Dia adalah putra dari pejuang kemerdekaan yang mengabdikan hidupnya untuk organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Seperti kiai pada umumnya, ia dikenal tampil sederhana. Cara bicaranya halus dan santun, sehingga sebagian orang pun menyebutnya sebagai ulama yag menyejukkan. Sementara, kacamata minus yang melekat diwajahnya menunjukkan betapa rajiannya ajengan yang satu ini dalam membaca, khususnya kitab-kitab klasik.
Dia bernama KH Moh. Ilyas Ruhiat, seorang ulama NU yang lahir di Cipasung, Tasikmalaya pada 12 Rabiul Awal 1352 atau bertepatan dengan 31 Januari 1934. Dia adalah pengasuh kedua Pondok Pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Sejak kecil hingga dewasa, ia mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya langsung, KH Ruhiat yang merupakan perintis Pondok Pesantren Cipasung. Ulama yang biasa dipanggil Ajengan Ruhiat ini adalah pejuang di era kemerdakaan dan termasuk pelopor masyarakat Tasikmalaya dalam menghadang penjajah Belanda.
Pada 17 November 1941, Ajengan Ruhiat bahkan pernah ditangkap dan ditahan bersama ulama terkemuka KH Zainal Musthofa di penjara Sukamiskin dan dibebaskan pada 10 Januari 1942. Kegigihan sang ayah inilah yang membuat Ilyas muda memiliki semangat tinggi untuk terus belajar secara tekun dan bersikap tegar.
Kecerdasan dan ketegaran Ajengan Ilyas tersebut kemudian menjadi modal dalam memperjuangan masyarakat Cipasung. Karena itu, ketika Ajengan Ruhiat merasa sakitnya semakin parah, ia pun langsung dibaiat oleh ayahadanya tersebut untuk meneruskan kepemimpinan Pesantren Cipasung pada 1980.
Secara formal pesantren Cipayung memang bukan milik NU. Namun, pesantren ini tidak dibisa dipisahkan dari NU. Karena itu, Ajengan Ilyas saat berusia 20 tahun juga ikut ambil bagian dalam upaya rembukan pertama pendirian organisasi Ikatan Pelajaran Nahdlatul Ulama (IPNU).
Dalam Kongres Pertama IPNU pada 1954 di Malang, ia datang sebagai Ketua IPNU Cabang Tasikmalaya. Dari sinilah jiwa organisasinya mencuat tak pernah surut. Sejak 1985, ia pun mendapat amanah sebagai Rais Syuriah NU Jawa Barat. Sebelumnya, dia juga pernah menduduki jabatan A’wan Syuriah PBNU.
Sebagai pengasuh pesantren Cipasung, Ajengan Ilyas selalu berusaha memberi teladan kedisiplinan kepada para santrinya. Namun, dalam buku berjudul “Ajengan Cipayung: Biografi KH. Ilyas Ruhiat” dijelaskan, Ajengan Ilyas sebenarnya juga memiliki rasa humur yang cukup tinggi.
Ketika memberikan pengajian di pesantrennya, ia tak tak jarang melontarkan humor ala kiai NU. Misalnya, saat Ajengan Ilyas membahas tentang puasa, ia bertanya kepada para santrinya, “Kalau sepasang pengantin baru, bagaimana cara mereka membatalkan puasa?” Tanpa menjawab pertanyaan itu, para santrinya pun tertawa.
Kemampuan humor yang menjadi kekhasan para kiai NU dianggap penting agar penyampaian pesan agama bisa diterima dengan baik dan membekas terhadap para santri. Melalui humor, Ajengan Ilyas dapat lebih mudah menyampaikan makna teks-teks yang kadang sulit terima oleh santrinya. Hal ini juga umum diterapkan di setiap pondok pesantren NU di seluruh nusantara.
Di bawah kepemimpinan Ajengan Ilyas, Pesantren Cipasung pun menjadi salah satu pesantren yang besar dan penuh prestasi. Terlebih ketika Ajengan Ilyas terpilih sebagai pelaksana harian Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam Munas yang diselenggarkan di Lampung pada 1992.
Dia pun menjadi satu-satunya orang Sunda yang pernah menduduki puncak kepemimpinan NU tersebut. Karena, sebelumnya Rais Aam PBNU selalu diamanatkan kepada kiai-kiai Jawa. Pada 1994, Ajengan Ilyas kemudian terpilih lagi untuk kedua kalinya sebagai Rais Aam PBNU dalam muktamar yang diselenggarakan di pesantrennya sendiri.
Dalam kepemimpinan NU, jabatan Rais Aam PBNU bukan sembarang jabatan. Karena, yang bisa menduduki posisi tersebut hanyalah kiai-kiai kharismatik dan benar-benar menjadi panutan umat. Terpilihnya sebagai Rais Aam hingga dua kali itu menunjukkan bahwa Ajengan Ilyas sangat dihormati oleh para kiai NU saat itu.
Berjuang Lewat NU
Ajengan Ilyas memiliki prinsip hidup untuk selalu mengabdi dan berjuang lewat organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan Hadrastus Syekh KH. Hasyim Asy’ari. “Hidup saya hanya untuk mengajar dan mengabdi di NU,” kata Ajengan Ilyas suatu ketika.
Kalimat itu bukan kata-kata kosong, tapi sudah dibuktikan dengan sepak terjangnya di NU. Bahkan, Ajengan Ilyas penah mencoba berkontribusi untuk NU lewat jalur politik. Dalam Pemilu 1971, ia pernah menjadi calon legislatif nomor urut satu dari Partai NU untuk DPRD tingkat I.
Saat itu, Ajengan Ilyas berkampanye memperjuangkan peluang yang diberikan Partai NU kepadanya. Suara melalui Pemilu pun didapat dan ia siap untuk berjuang melalui DPRD. Namun, setelah berdiskusi dengan ayahnya, ia menyerahkan kedudukan itu kepada orang lain.
Ajengan Ruhiat saat itu memberikan nasihat kepada putranya tersebut agar mengurus pesantren saja dan tidak terjun ke dunia politik. “Lebih baik kita mengurus pesantren saja,” kata Ajengan Ruhiat kepada Ajengan Ilyas saat itu.
Dalam buku “Ajengan Cipayung: Biografi KH. Ilyas Ruhiat”, Iip D. Yahya menjelaskan, Ajengan Ilyas memiliki prinsip hidup untuk selalu bekerja karena Allah dan tidak tergantung kepada seseorang. Dengan prinsip itu, ia pun tidak merasa kesulitan bekerjasama dengan siapapun, termasuk dengan KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Bagi Ajengan Ilyas, bekerjasama dengan Gus Dur adalah sesuatu hal yang biasa-biasa saja. Demikian juga saat bekerjasama dengan orang lain. Karena itu, tak heran jika Ajengan Ilyas juga pernah menjadi Penasihat Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) wilayah Jawa Barat.
Menurut Ajengan Ilyas, jika ada organisasi yang bertujuan untuk memajukan umat Islam seperti ICMI, maka itu merupakan suatu hal yang positif. Menurut dia, orang yang ikut atau menolak ICMI adalah pertimbangan pribadi dan yang ikut atau menolak ICMI tidak berarti mewakili NU.
Setiap organisasi pasti mempunyai latar belakang masing-masing. Namun, berdasarkan pengamatan Ajengan Ilyas, pencapaian ICMI melalui ketokohan BJ Habibie saat itu baru berhasil untuk masyarakat tingkat atas saja, belum menyentuh masyarakat di tingkat bawah.
Sikapnya yang santun dan selalu ramah sudah menjadi pembawaan pribadinya di mana pun dan kapanpun. Ajaran-ajaran kitab kuning atau kitab klasik yang dikarang para ulama terdahulu ikut memperkuat apa yang sudah menjadi pembawaan pribadinya tersebut.
Dalam satu catatannya, ia pun mengutip pendapat Muawiyah yang menjelaskan bahwa manusia itu ada tiga macam. Pertama, orang yang punya ilmu dan suka bermusyarawah, dan ini dinamakan orang yang utama atau fadhil.
Kedua, orang yang tidak punya ilmu tetapi suka bermusyawarah, dan ini dinamakan orang yang berakal atau aqil. Sedangkan yang ketiga, orang yang punya ilmu tetapi tidak suka bermusyawarah, dan ini dinamakan orang yang keblinger atau ghafil.
“Sementara orang yang tidak punya ilmu dan tidak mau musyawarah, itu bukan manusia tetapi hewan,” kata Ajengan Ilyas.