REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polisi mengungkap praktik perdagangan manusia dengan mengeksploitasi anak berusia sekitar 14 sampai 18 tahun di Kelurahan Rawa Bebek, Penjaringan, Jakarta Utara, Senin (13/1). Anak-anak di bawah umur itu dipaksa melakukan hubungan seks dengan pria 'hidung belang' di sebuah kafe remang-remang.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Yusri Yunus mengatakan, polisi telah menangkap dan menetapkan enam tersangka atas kasus perdagangan manusia terhadap 10 anak di bawah umur tersebut. Keenam tersangka itu berinisial R atau biasa dipanggil mami A, mami T, D alias F, TW, A, dan E.
Yusri mengungkapkan, masing-masing tersangka memiliki peran yang berbeda dalam mencari dan menjual para korban. Tersangka mami A berperan sebagai pemilik kafe di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara yang dijadikan sebagai lokasi penjualan anak tersebut.
"Dia (mami A) juga memaksa anak-anak berusia di bawah umur untuk berhubungan badan dengan tamu yang datang ke kafe," kata Yusri dalam konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Selasa (21/1).
Tersangka berikutnya, yakni mami T berperan sebagai mucikari. Ia juga tak jarang memaksa anak-anak berusia di bawah umur untuk berhubungan seksual dengan para tamu.
Dua tersangka lainnya berinisial D alias F dan TW berperan mencari anak-anak di bawah umur melalui media sosial dengan iming-iming tawaran pekerjaan berpenghasilan besar. Setelah itu, keduanya menjual anak-anak tersebut kepada kedua tersangka yang biasa dipanggil mami dengan harga Rp 750 ribu hingga Rp 1,5 juta.
Sementara itu, tersangka adalah A dan E. Keduanya merupakan anak buah tersangka yang biasa dipanggil mami. "Mereka (tersangka A dan E) bekerja sebagai cleaning service di kafe tersebut," ungkap Yusri.
Ditemui dalam kesempatan yang sama Kabag Bin Opsnal Dit Reskrimum Polda Metro Jaya AKBP Pujiyarto menuturkan, dalam sehari para korban dipaksa untuk melayani 10 lelaki hidung belang. Ia menyebut, jika korban tidak memenuhi jumlah itu, maka mereka akan dikenakan denda.
"Para pelaku sangat sadis karena setiap korban mereka harus melakukan perbuatan itu sehari minimal 10 kali, dan apabila tidak mencapai itu, para korban didenda," ujar Pujiyarto.
Pujiyarto menjelaskan, denda yang dikenakan kepada para korban jika tidak memenuhi target dalam sehari adalah Rp 50 ribu. Denda itu akan dipotong dari upah para korban yang dibayar tiap dua bulan sekali.
Selain itu, sambung dia, para korban juga diberikan pil khusus untuk menahan proses menstruasi. Tujuannya agar para korban dapat terus melayani tamu sesuai dengan target yang sudah ditentukan.
"Enggak boleh menstruasi, karena kalau menstruasi akan mengurangi jatah tamunya," jelas Pujiyarto.
Di sisi lain, sambung dia, para tersangka tidak memperhatikan kondisi kesehatan dan tempat penampungan korban. Ia mengungkapkan, tidak adanya pemeriksaan kesehatan berkala sangat berpotensi terhadap penularan berbagai penyakit.
Masih dalam kesempatan yang sama, Kepala Balai Kementerian Sosial (Kemensos) Neneng Heriyani mengatakan, saat diamankan, beberapa korban di bawah umur itu mengalami luka di bagian alat kelaminnya. Kemensos bakal segera melakukan pemeriksaan kepada para korban untuk meminimalisir adanya penyakit dari luka tersebut.
"Ada indikasi beberapa anak terkena infeksi di bagian alat kelaminnya, kami segera lakukan pemeriksaan kesehatan," ujar Neneng
Neneng juga menambahkan, pihaknya akan memastikan para korban mendapatkan perawatan medis sampai sembuh. Selain itu, Kemensos juga akan menjamin pemulihan trauma untuk para korban.
Saat ini, keenam tersangka telah ditahan di Rumah Tahanan Polda Metro Jaya. Polisi akan mendalami kemungkinan jumlah korban yang masih bisa bertambah serta menyelidiki asal pil yang digunakan para tersangka untuk menahan proses menstruasi korban-korbannya.
Atas perbuatannya, para tersangka dikenakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Juncto Pasal 296 KUHP dan Pasal 506 KUHP. Dengan ancaman hukuman di atas 10 tahun penjara.