REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Islam, perkara keadilan adalah hal yang harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Tentang bagaimana keadilan itu perlu ditegakkan, para hakim pun harus tahu dan menjalani tata cara mengadili dengan sebijak-bijaknya.
Para ulama sepakat hakim harus memberikan perlakuan yang sama terhadap kedua orang yang sedang berperkara. Dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd dijelaskan, seorang hakim dilarang hanya mendengarkan keterangan salah satu pihak saja dan tidak mendengarkan yang lain.
Hakim harus memulai memintai keterangan pada pihak penggugat, lalu menanyakan bukti-bukti yang diinginkan oleh pihak tergugat. Jika si pengugat tidak memiliki bukti dalam perkara yang menyangkut urusan harta misalnya, berdasarkan pandangan ulama maka tergugat harus bersumpah.
Namun apabila perkaranya menyangkut urusan nikah, talak (perceraian), hingga pembunuhan, menurut Imam Syafi'i, yang wajib sumpah hanya untuk gugatan itu saja. Sedangkan menurut Imam Malik, sumpah hanya diwajibkan untuk mendukung keterangan seorang saksi.
Sedangkan menurut mayoritas ulama kota-kota besar, sumpah dibebankan kepada tergugat sebab gugatan itu sendiri berdasarkan dalil umum hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ibnu Abbas. Nabi berkata: "Albayyinatu alal mudda'i wal yaminu alal mudda'a alaihi." Artinya: "Bukti itu atas orang yang menuduh, dan sumpah bagi orang yang menyangkal."
Adapun ulama-ulama yang menetapkan sumpah, berpedoman pada pertimbangan kemaslahatan. Agar antara satu dengan yang lainnya tidak saling menguggat dan tidak saling menafikan gugatan.