REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Trisno Raharjo menyatakan sikap PP Muhammadiyah terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). Menurut dia, Muhammadiyah menolak keras RUU tersebut jika didesain untuk kelancaran agenda liberalisasi.
"Menolak keras jika RUU Omnibus Law Cilaka didesain untuk kelancaran agenda liberalisasi sumber daya alam negara dan menguntungkan kepentingan ekonomi investor yang tentunya mencederai kedaulatan rakyat dan bertentangan dengan Sila Kelima Pancasila," ujar Trisno saat konferensi pers di Kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (28/1).
Dia menjelaskan, masyarakat luas berhak mengetahui dan diberikan akses oleh pemerintah terhadap hal-hal penting yang terjadi di republik ini, apalagi terkait dengan kepentingan rakyat. Karena itu, menurut dia, dasar-dasar filosofis maupun sosiologis RUU tersebut harus disosialisasikan kepada masyarakat sehingga mendapatkan masukan dari berbagai pihak.
"Begitu juga dengan proses inisiasi pembahasan RUU Omnibus Law Cilaka harus transparan dan disosialisasikan sedini mungkin ke masyarakat luas," ucapnya.
Trisno menjelaskan, RUU tersebut merupakan inisiasi Kemenko Perekonomian. Tim gugus tugas (task force) selain harus melibatkan unsur pemerintah juga harus melibatkan pihak-pihak lain yang berkepentingan, terutama dari masyarakat sipil. Hal ini agar kemanfaatan RUU tersebut tidak hanya menjadi sekadar kepentingan elite pemerintah.
"Untuk itu, pembahasan RUU Omnibus Law Cilaka harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan partisipatif, ada proses public hearing serta tidak tergesa-gesa dengan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan bisnis kelompok tertentu, apalagi kepentingan asing," katanya.
Dia menambahkan, RUU tersebut harus selaras dengan tujuan negara, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam perdamaian dunia.