Rabu 29 Jan 2020 15:58 WIB

KPK Periksa Cak Imin Terkait Proyek Kementerian PUPR

Cak Imin membantah ada aliran dana dari kasus dugaan suap itu yang masuk ke PKB.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ratna Puspita
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau yang akrab dengan panggilan Cak Imin menjalani pemeriksaan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (29/1). Cak Imin dimintai keterangannya sebagai saksi dugaan suap terkait proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tahun anggaran 2016.

"Saya datang untuk memenuhi panggilan sebagai saksi dari Hong Artha," kata Cak Imin di Gedung KPK Jakarta, Rabu (29/1).

Baca Juga

Menurut Cak Imin, penyidik KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap dirinya pada Kamis (30/1). Namun, lantaran ia memiliki jadwal acara lain sehingga ia meminta untuk dimajukan jadwalnya.

"Alhamdullilah selesai semuanya sudah-sudah saya berikan penjelasan ya selesai," kata dia.

Saat ditanyakan apakah ada aliran dana yang masuk ke partainya, Cak Imin langsung membantahnya. "Tidak benar, kaitannya tidak ada," tegasnya.

Sebelumnya, beberapa nama politisi PKB juga dipanggil lembaga antirasuah. Salah satunya Wakil Gubernur Lampung yang juga politikus PKB Chusnunia Chalim alias Nunik. Selain itu, tim penyidik juga pernah memeriksa tiga politikus PKB Fathan, Jazilul Fawaid, dan Helmi Faisal Zaini. 

Dalam perkara ini, KPK menduga Hong Artha bersama-sama memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada Kepala Badan Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara, Amran HI Mustary. Amran diduga menerima uang sebesar Rp 8 miliar dan Rp 2,6 miliar dari Hong Artha.

Hong Artha merupakan tersangka ke-12 setelah sebelumnya KPK menetapkan 11 orang lainnya. Dari 11 orang tersebut, 10 diantaranya sudah divonis bersalah dan dijebloskan ke penjara.

Penetapan status tersangka terhadap Hong Artha dilakukan pada 2 Juli 2019 lalu. Namun, hingga kini, KPK belum melakukan penahanan terhadap Hong Artha.

Kasus ini bermula dari penangkapan mantan anggota Komisi V DPR RI Damayanti pada 13 Januari 2016. Dalam perkara tersebut, Amran telah divonis enam tahun penjara dan denda Rp 800 juta subsider empat bulan kurungan karena menerima Rp2,6 miliar, Rp15,525 miliar, dan 202.816 dolar Singapura.

Sementara Damayanti juga telah divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti menerima 278.700 dolar Singapura dan Rp1 miliar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement