REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Pakar kelautan dan perikanan IPB University, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS menyampaikan Konsep “Pengembangan Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap Yang Maju, Mensejahterakan dan Berkelanjutan Berbasis Ipteks” pada Rakernis Ditjen Perikanan Tangkap di Hotel Windham, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (29/1).
Acara tersebut dihadiri oleh sekitar 400 peserta dari lingkup Direktorat Jenderal (Ditjen) Perikanan Tangkap, para Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (KP) dan ketua Beppada dari 34 provinsi, serta perwakilan nelayan Pantura, Natuna, dan Anambas dan lainnya.
Dalam kesempatan tersebut, Rokhmin menawarkan 19 Kebijakan Jangka Menengah - Panjang (2020 - 2045) untuk mewujudkan Perikanan Tangkap Yang Maju, Mensejahterakan Nelayan dan Berkealanjutan.
Ia juga menawarkan delapan program Quick Wins (2020 - 2022). Kedelapan program tersebut adalah (1) Penyelesaian dan Operasionalisasi 14 SKPT (Sentra Kawasan Industri Perikanan dan Kelautan Terpadu) dengan menggandeng perusahaan swasta nasional, BUMN dan BUMD atau perusahaan swasta global sebagai penghela; (2) pengendalian dan pengaturan cantrang serta alat tangkap aktif lainnya (bukan moratorium); dan (3) pengoperasian kapal eks asing yang syah dan ber SNI oleh Koperasi Nelayan, BUMN, swasta nasional, atau swasta global dg skema KSO dg swasta nasional, 75 ABK dari nelayan Indonesia, dan ikan hasil tangkap diproses di Indonesia.
“Langkah keempat adalah perubahan pembatasan ukuran kapal maksimal 150 GT,” kata menteri Kelautan dan Perikanan era Kabinet Gotong Royong, dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Ia menambahkan, langkah kelima adalah perubahan kebijakan transhipment; dan langkah keenam berupa perbaikan PHP perikanan. “Adapun langkah ketujuh adalah reformasi perizinan perikanan; dan kedelapan, penambahan armada kapal ikan modern nasional > 60 GT di ZEEI Laut China Selatan dan Laut Natuna Utara dan operasionalisasi SKPT Natuna,” paparnya.
Dalam kesempatan tersebut, ketua Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) itu menyebutkan setidaknya ada 17 permasalahan dan tantangan subsektor perikanan tangkap. Permasalahan dan tantangan tersebut adalah sekitar 40% nelayan masih hidup dibawah garis kemiskinan (pendapatan kurang 300 dolar AS [Rp 4,2 juta] per bulan); kontirbusi sektor Kelautan dan Perikanan (KP) dan subsektor PT terhadap PDB masih sangat rendah (2,6% dan 1,2%); nilai ekspor perikanan masih sangat kecil (4 miliar dolar AS). “Bandingkan dengan Thailand (12 miliar dolar AS, dan Vietnam (9 miliar dolar AS),” ujarnya mengutip data FAO, 2018.
Selain itu, sebagian besar (98%) nelayan tradisional dengan ukuran kapal < 20 GT dan fishing gears kurang efisien, sehingga produktivitas (CPUE) rendah; mayoritas nelayan belum menerapkan Best Handling Practices, sehingga kualitas ikan rendah; sebagian besar pelabuhan perikanan belum memenuhi persyaratan higienis dan sanitasi, belum dilengkapi dengan forward-and backward-linkage industries (industri hulu dan hilir); dan lokasi sentra penangkapan ikan berbeda dengan lokasi pasar domestik maupun lokasi pelabuhan ekspor. “Sistem Logistik Ikan Nasional belum terbangun dengan baik,” ujar ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.
Di samping itu, marena musim paceklik atau cuaca buruk, pada umumnya nelayan hanya bisa melaut menangkap ikan sekitar 6 – 8 bulan dalam setahun. “Sekitar 4 – 6 bulan mereka menganggur, tidak ada kerjaan . Akibatnya, banyak di atara mereka terjebak rentenir,” tuturnya.
Ia menambahkan, posisi nelayan dalam rantai bisnis (tata niaga) sangat marginal. Harga sarana produksi jauh lebih mahal ketimbang harga di produsen, sedangkan harga ikan hasil tangkap jauh lebih murah ketimbang harga ikan di konsumen (pasar) terakhir. “Ini karena banyaknya pedagang perantara (panjangnya rantai tata niaga,” ungkapnya.
Persoalan lainnya, kata Rokhmin, adalah IUU fishing, terutama oleh nelayan asing masih marak; overfishing beberapa jenis stok ikan di beberapa fishing grounds (WPP), underfishing di beberapa fishing grounds (WPP) lainnya; kelengkapan dan keabsahan data (MSY, CPUE, jumlah dan karakteristik nelayan, dan lain-lain) rendah; dan pencemaran, degradasi ekosistem pesisir, biodiversity loss, dan kerusakan lingkungan lain. Hal ini menekan stok ikan.
Selain itu, kata Rokhmin, perubahan iklim global beserta segenap dampak negatipnya (sea level rise, ocean acidification, heat waves, extreme weather, dan lain-lain); kecelakan di laut, perampokan, dan kejahatan laut lainnya; kapasitas (pengetahuan dan keterampilan) dan etos kerja nelayan pada umumnya belum mumpuni; dan kebijakan politik-ekonomi (seperti moneter, fiskal, perbankan, SDM, dan iklim investasi) belum kondusif.