Jumat 07 Feb 2020 12:45 WIB

Anjuran Konsistensi Menjalankan Syariat

Ulama telah merumuskan tata cara menjalankan syariat.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Ustaz Izzul Mutho (tengah, berpeci putih) saat menggelar kajian Fathul Muin soal pentingnya bermazhab, di Jakarta, Rabu (5/2).
Foto: Imas Damayanti/Republika
Ustaz Izzul Mutho (tengah, berpeci putih) saat menggelar kajian Fathul Muin soal pentingnya bermazhab, di Jakarta, Rabu (5/2).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA – Dalam Islam, umat Muslim dianjurkan untuk mengikuti tata cara beragama yang telah dirumuskan oleh para ulama mazhab. Alasannya, para ulama mazhab memiliki kapasitas keilmuan agama yang mumpuni yang berdasarkan Alquran serta hadits.

Beragamnya madzhab keislaman yang disajikan juga tidak serta-merta dijadikan penggampangan bagi umat Muslim itu sendiri dalam menjalankan sebuah perkara. Ustaz Izzul Mutho mengatakan, konsistensi umat Muslim dalam menjalankan syariat harus diiringi dengan konsistensi mengikuti mazhab tertentu yang ia percaya.

Baca Juga

Berdasarkan kitab Fathul Mu’in karya Zainuddin al-Malibary, kata beliau, tidak dianjurkan bagi umat Muslim untuk menganut mazhab-mazhab berbeda dalam berbagai permasalahan. Sikap talfiq atau berganti-ganti madzhab tidak dibenarkan sebab terkesan menggampangkan cara bersyariat.

"Kenapa talfiq itu tidak dianjurkan? Karena ditakutkan umat yang melakukan itu jadi tatabu’ rukhosh (mencari enaknya saja dalam beragama),” kata Ustaz Izzul dalam kajian kitab Fathul Muin, di Jakarta, Rabu (5/2).

Beliau menjabarkan bahwa apabila seseorang mempercayai suatu mazhab, maka ketentuan dalam menjalankan suatu syariat harus dilandasi atas mazhab tersebut. Dalam contoh, kata dia, ketika seseorang menganut madzhab Syafi’i yang membolehkan membasuh kening dan tak seluruh kepala sebagaimana yang dianut Mazhab Maliki, maka hal lainnya harus mengikuti mazhab Syafi’i.

“Mazhab Syafi’i melarang memelihara anjing, maka harus diikuti kalau tadi wudhunya sudah ikut mazhab Syafi’i,” kata dia.

Namun demikian, bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan agama serta memahami metodologi Alquruan, sunah, tarjih, hingga qiyas maka talfiq diperbolehkan. Sebab dasar talfiq tersebut menurut dia bukan bertujuan untuk tatabu’ rukhosh.

Orang-orang yang berilmu dan memahami metodologi keagamaan dinilai memiliki argumentasi dan landasan kuat untuk melakukan sebuah talfiq. Di Indonesia, hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan kalangan Muhammadiyah yang memang sangat memahami keilmuan terhadap metodologi-metodologi agama.

Dia mencontohkan, di Muhammadiyah terdapat Majelis Tarjih yang dapat membandingkan antara pendapat mazhab yang relavan dengan kejadian saat ini. Dalam Majelis Tarjih tersebut, kata dia, orang-orang yang melakukan tarjih pun bukanlah orang sembarangan. Mereka merupakan ulama-ulama Muhammadiyah yang memiliki kapasitas keilmuan mumpuni dan sangat memahami konteks permasalahan secara terukur.

“Salah satu syarat talfiq itu yang bersangkutan harus mujtahid, atau misalnya dia adalah orang yang hafal Alquran,” ungkapnya.

Namun demikian, bagi orang awam sikap talfiq tak diperkenankan. Kaum Muslimin yang tak memiliki kemampuan beragama seperti itu diwajibkan untuk mengikuti suatu madzhab yang diyaknininya.

Masih pentingkah bermazhab?

Dia menjelaskan bahwa di masa kini kepentingan bermazhab masih sangat relevan bagi kebanyakan umat Muslim. Sebab, kata dia, masih banyak kalangan umat Muslim yang belum memiliki kapasitas keilmuan yang disyaratkan untuk bertalfiq.

“Untuk itulah, kita masih sangat perlu menganut mazhab,” ungkapnya.

Adapun manfaat menganut suatu mazhab tertentu adalah agar umat Muslim menjalankan agama secara sistematis, terarah, dan jelas secara maksud. Sebab, ajaran madzhab merupakan hal yang berbeda-beda sehingga dengan bermadzhab maka umat akan dimudahkan untuk menjalankan syariatnya.

“Maka bermazhablah,” kata dia.

Selain itu dengan bermazhab, setiap perbuatan yang dilakukan manusia akan dimintai pertanggung jawabannya. Sehingga dia menyebut, apabila suatu umat bersandar dalam beragama di suatu madzhab maka secara tidak langsung Allah akan memintai pertanggung jawaban keilmuan si imam mazhab tersebut.

Terlebih di era saat ini di mana informasi kian mudah didapatkan, otentisitas suatu keilmuan rentan disalahguanakan oknum-oknum tertentu. Maka itulah, menurutnya, berguru dengan menjalankan syariat sesuai ajaran imam mazhab menjadi hal yang penting dilakukan umat Muslim saat ini.

“Kata Imam Nawawi dalam Syarah Muslimnya, sanad (kebersambungan) ilmu dalam beragama itu merupakan bagaian dari agama. Seandainya tidak ada sanad, maka orang akan berkata semaunya,” pungkasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement