Jumat 07 Feb 2020 22:37 WIB

DBMPR Temui Pelanggaran Tata Ruang di The Great Asia Africa

Ada ketidaksesuaian tata letak bangungan.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Dwi Murdaningsih
Suasana pengunjung yang memadati wisata
Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Suasana pengunjung yang memadati wisata

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--- Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang (DBMPR) Provinsi Jawa Barat mengidentifikasi sejumlah pelanggaran tata ruang dalam kawasan wisata baru The Great Asia Africa di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Menurut Kepala Bidang Penataan Ruang DBMPR Jabar, Bobby Subroto, pelanggaran yang sudah diidentifikasi berkaitan dengan ketidaksesuaian tata letak bangunan. Misalnya, ada sejumlah bangunan di sempadan sungai.

Bobby mengatakan, The Great Asia Africa, kata dia, dibangun di Kawasan Bandung Utara Zona L-1. Lokasi ini adalah zona yang meliputi kawasan konservasi kawasan lindung, sempadan sungai dan situ, radius 50 meter dari mata air, serta lahan dengan kelerengan 40 persen atau lebih.

Baca Juga

Bobby menjelaskan, Zona L-1 ini pun meliputi Taman Hutan Raya Ir H Djuanda, TWA Tangkuban Parahu, Cagar Alam Tangkuban Parahu, kawasan Observatorium Bosscha, koridor 250 meter kiri kanan Sesar Lembang, Kawasan Rawan Bencana III Gunung Api Tangkuban Parahu, hutan produksi, dan ruang terbuka hijau.

Menurutnya, L-1 ini menjadi daerah kawasan lindung atau zona kawasan khusus dan mempunyai risiko bencana tinggi. Zona dengan luas 17.107,93 hektare ini memiliki luas lahan yang terbangun mencapai 7,26 persen.

"Karenanya, kawasan ini punya peraturan yang ketat dalam hal tata ruang dan pembangunan," ujar Bobby di Kantor DBMPR Jabar, Jumat (7/2).

Kawasan wisata tersebut, kata dia, di dalamnya sempadan sungai, seharusnya itu tidak boleh. Di dalam rekomendasi, hal tersebut sudah dilarang. "Dan itu ada di L-1. Kami sudah sampaikan ke teman-teman dinas Kabupaten Bandung Barat tolong itu diperhatikan," katanya.

DBMPR pun, kata dia, merekomendasikan pembangunan lahan parkir yang luas dan hal ini tidak diperhatikan pengelola. Ditemukan juga, peletakan bangunan di atas tanah dengan kemiringan lebih dari 30 persen.

Seharusnya, kata dia, pembangunan atau peletakan bangunan, tidak semasif yang sekarang. Pembangunan ini harus disesuaikan lagi sesuai peraturan yang ada. Kemudian juga ketinggian bangunan pun dianggap melanggar ketentuan karena bangunan yang didirikan di ketinggian 1.000 mdpl tidak boleh lebih dari tiga lantai.

Solusinya, kata dia, harus dilakukan semacam kegiatan penutupan sementara kawasan wisata tersebut. "Ya harus karena kalau tidak, dengan cuaca seperti sekarang dengan bangunan-bangunan yang ada di bawahnya bisa ada kecelakaan, bisa ada air bah kita tidak tahu juga kan soal fenomena alam," kata Bobby seraya mengatakan, DBMPR pun sudah minta untuk segera dilakukan penutupan operasional dalam diskusi dengan Pemkab Bandung Barat.

Bangunan di kawasan tersebut, kata dia, belum mengantongi sertifikat layak fungsi (SLF). Penghentian operasional sementara ini bisa dilakukan secara normatif dan Pemkab Bandung Barat bertugas untuk menertibkan aktivitas di kawasan yang belum berizin tersebut.

"Dari situ kita baru bicara lagi, negatif list yang harus diselesaikan itu apa. Itu harus disampaikan pada pengembang," katanya.

Selain itu, kata dia, ada beberapa hal yang harus dipenuhi sebelum mengurus izin. "Amdal lalin juga belum kan. Dalam izin menggunakan jalan provinsi juga belum," katanya.

Sementara menurut Kepala DBMPR Jabar, A Koswara,  The Great Asia Africa memang didirikan di lahan yang bisa dimanfaatkan untuk pariwisata. Hanya saja, pembangunan berbagai sarana dan prasarana di kawasan tersebut belum memenuhi peraturan mengenai KBU. Hal yang paling terasa, adalah kemacetan lalu lintas di Jalan Raya Bandung-Lembang.

"Mereka tidak siapkan parkir, Amdal Lalin belum siap, tapi sudah operasional. Caranya salah. Makanya kami rapat dengan KBB untuk menertibkan itu," katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement