REPUBLIKA.CO.ID, Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja. Rasulullah sangat menghargai sahabatnya yang bekerja, walaupun jenis pekerjaan itu adalah pekerjaan kasar.
Ketika Rasulullah pulang dari perang Tabuk, beliau bertemu dengan salah seorang sahabatnya, Mu'az. Ketika bersalaman, terasa oleh beliau telapak tangan Mu'az yang kasat. Lalu beliau bertanya apakah sebabnya sehingga telapak tangan itu menjadi kasat. Mu'az menjawab, "Saya membajak tanah, untuk nafkah keluarga saya ya Rasulullah." Mendengar jawaban itu Rasulullah mencium tangan Mu'az dan berkata, "Tangan ini tak akan disentuh api neraka, Mu'az."
Sayangnya banyak kalangan umat Islam yang tidak memahami masalah ini. Mereka menganggap bahwa agama membuat hidup jadi malas, stagnan, dan jumud. Sehingga, timbullah dikotomi antara memegang teguh ajaran agama dan etos kerja yang profesional.
Hal ini mungkin disebabkan sejarah panjang umat Islam yang dijajah dan ditindas oleh bangsa-bangsa yang justru meninggalkan agamanya. Padahal dalam ajaran Islam, perintah meraih sukses dunia dalam bidang apa pun adalah syarat untuk menjadi khalifah di muka bumi. Sebab, bagaimana mungkin seseorang bisa berzakat kalau tidak punya harta? Bagaimana mungkin seseorang bisa menaklukkan alam jika tak berilmu? Allah SWT berfirman: Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah (QS 62:10).
Prof Dr Hamka dalam buku Tasauf Modern mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk bekerja. Dan hakikat kerja dalam Islam adalah manifestasi dari perintah Allah SWT bahwasanya orang hidup tidak boleh menganggur. Apalagi bagi manusia yang diberi tanggung jawab mengumbar kata-kata daripada kerja.
Setiap hari kita disuguhi perang pernyataan, bantahan, pembelaan, tuntutan yang membuat umat bertambah bingung. Hal ini tentu sangat kita sesalkan. Kita berharap perang kata-kata antarpemimpin bangsa segera berakhir dan berganti dengan perang program, perang kerja, sehingga rakyat dapat merasakan hasil kerja dari pemimpin yang mereka pilih dan percayai.