REPUBLIKA.CO.ID, MANADO -- Daging kelelawar masih populer dan digemari oleh masyarakat Tomohon, Sulawesi Utara. Padahal peneliti menemukan bahwa penyebaran virus korona baru (2019-nCoV) dari China kemungkinan besar berasal dari kelelawar sebelum ditularkan ke manusia.
Kelelawar biasanya dimasak seperti kari atau biasa disebut Paniki. Kelelawar utuh digunakan di Paniki, termasuk kepala dan sayap. Kelenjar dari ketiak dan leher kelelawar biasanya dikeluarkan untuk menghilangkan bau tak sedap. Kemudian kelelawar dipanggang atau dibakar untuk menyingkirkan bulunya, lalu dipotong dan dimasak dalam rebusan rempah-rempah dan santan.
"Itu (coronavirus) tidak memengaruhi penjualan. Faktanya, penjualan terus berlanjut dan selalu terjual habis," kata penjual kelelawar Stenly Timbuleng di kiosnya di pasar Tomohon, Sulawesi Utara, dilansir Reuters, Selasa (11/2).
Pada hari-hari biasa, Stenly menjual 50 hingga 60 kelelawar. Dan selama periode perayaan, ia bisa menjual hingga 600. Menurut pakar kuliner William W Wongso, kelelawar diminati karena hewan tersebut kaya protein.
“Kami belum menemukan kasus (coronavirus) di Manado. Sampai sekarang, masih banyak orang yang makan kelelawar ini. Karena kelelawar baik, terutama ketika dimasak dengan santan,” kata Wongso. "Bagian favorit saya adalah sayap," tambah dia.
Virus corona diyakini berasal dari pasar makanan di kota Wuhan di Cina yang menjual satwa liar secara ilegal. Para ahli kesehatan berpendapat bahwa itu mungkin berasal dari kelelawar dan kemudian ditularkan ke manusia atau mungkin melalui spesies lain.
Di Cina, virus ini telah membunuh lebih dari 1.000 dan menginfeksi lebih dari 42.700. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan pejabat kesehatan China, ada 319 kasus virus korona di 24 negara dan wilayah di luar China. Namun sejauh ini pemerintah Indonesia belum mengonfirmasi adanya kasus corona baru di Nusantara.