REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) berharap agar Peraturan Daerah Nomor 10/2018 tentang Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) Kota Bogor dapat dievaluasi secara menyeluruh. Saat ini, Perda masih dalam kajian Mahkamah Agung (MA) setelah pedagang tradisional di wilayah Bogor mengajukan gugatan melalui uji materi.
“PP 109 Tahun 2012 seharusnya bisa dijalankan dengan baik. Jangan membuat peraturan yang eksesif melebihi aturan di atasnya. Kalau sudah jadi preseden buruk, malah lebih ramai lagi,” ujar Ketua Gaprindo Muhaimin Moefti di Jakarta, Jumat (14/2).
Perda itu memuat aturan larangan pemajangan produk rokok. Di sisi lain, tidak ada satupun peraturan nasional yang melarang pemajangan produk rokok, termasuk aturan di atasnya yakni PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Moefti mengatakan semua pabrikan rokok anggota Gaprindo selalu taat pada peraturan Pemerintah. Untuk itu, Perda KTR Bogor diharapkan tidak terlalu keras agar tidak menimbulkan ketidakpastian usaha. “Iklan rokok di KTR sebaiknya dibolehkan dan rokok juga masih bisa dipajang karena rokok itu barang legal,” katanya.
Sesuai PP 109/2012, jual-beli rokok merupakan usaha yang legal kegiatannya, promosinya, iklannya dan produksinya. Hal ini disepakati kembali dalam kesepakatan nonlitigasi yang difasilitasi oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Dalam PP 109/2012, penjual tetap diperbolehkan untuk memajang produk rokok di lokasi penjualan, sementara Perda KTR Bogor tidak selaras dengan poin tersebut. Aturan KTR sejatinya dibuat untuk membatasi bukan melarang. Dikarenakan pula saat ini tidak ada undang-undang dan peraturan pemerintah yang melarang produk rokok dan iklan rokok.
Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) R Gani Muhamad menilai proses uji materi Perda KTR Bogor di MA merupakan langkah yang tepat. “Secara yuridis ini merupakan hak setiap orang untuk menggugat produk hukum daerah khususnya perda,” ujarnya.
Menurut Gani kalau ada pasal-pasal yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dan kepentingan umum, itu harus bisa dibuktikan. Dia berpendapat, jika ada pihak-pihak yang keberatan atau dirugikan karena perda tersebut, isi pasal yang bermasalah itu layak untuk diuji kembali.
Apabila nanti ditemukan atau diputuskan bahwa ternyata perda tersebut salah, pemda harus mengikuti dan melaksanakan keputusan MA. “Saya yakin MA adalah lembaga paling kompeten dalam hal ini dan analisisnya pasti menyeluruh dan menjamin keadilan di masyarakat,” ucap Gani.