REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Subdit 3 Sumdaling Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya membongkar klinik aborsi ilegal di wilayah Paseban, Jakarta Pusat, pada 11 Februari 2020. Polisi menangkap tiga orang tersangka, yakni MM alias dokter A, RM, dan SI.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus mengatakan, pengungkapan klinik aborsi ilegal tersebut berawal dari informasi masyarakat kepada polisi. Yusri menyebut, informasi mengenai adanya klinik aborsi ilegal yang telah beroperasi selama 21 bulan itu disebarkan melalui situs web.
"Klinik ini tanpa nama, tetapi klinik ini dikenal Klinik Aborsi Paseban kalau disosialisasikan melalui website," kata Yusri dalam jumpa pers di klinik aborsi ilegal di Paseban, Jakarta Pusat, Jumat (14/2).
Yusri mengatakan, setiap tersangka memiliki peran yang berbeda-beda. Dokter A alias MM merupakan dokter lulusan sebuah universitas di Sumatra Utara. Meski merupakan seorang dokter, dia belum mempunyai spesialis bidang tertentu.
Yusri menyebut, tersangka dokter A alias MM adalah orang yang berperan membantu para pasien untuk menggugurkan janinnya. Berdasarkan hasil pemeriksaan, tercatat 1.632 pasien yang telah mendatangi klinik aborsi ilegal itu. Dari jumlah tersebut, sebanyak 903 pasien telah menggugurkan janinnya.
"Dia (MM) ini memang dokter, pernah menjadi PNS di Riau, tetapi karena desersi enggak pernah masuk, dia dipecat," ujar Yusri.
Lebih jauh Yusri menuturkan, tersangka dokter A alias MM pun pernah terjerat kasus serupa di Polres Bekasi. Dia divonis tiga bulan penjara terkait kasus praktik aborsi ilegal. Sementara itu, tersangka RM berprofesi sebagai bidan. Dia bertugas untuk mempromosikan praktik klinik aborsi itu. "Dia yang mempromosikan melalui website, dia juga calo," ujar Yusri.
Sedangkan tersangka SI merupakan karyawan untuk pendaftaran pasien di klinik aborsi ilegal itu. Dia juga residivis kasus praktik aborsi ilegal. Selama 21 bulan beroperasi, klinik aborsi ilegal itu telah meraup keuntungan hingga Rp 5,5 miliar.
Menurut Yusri, dokter yang membuka praktik aborsi ilegal itu mematok harga yang berbeda terhadap setiap pasien. Tersangka dokter A alias MM mematok harga Rp 1 juta untuk menggugurkan janin usia satu bulan.
Bahkan, tersangka MM mematok harga Rp 4 juta-Rp 15 juta untuk menggugurkan janin berusia di atas empat bulan. "Tarif ada (untuk janin berusia) satu bulan, dua bulan, tiga bulan, dan seterusnya. (Janin berusia) sebulan (tarifnya) Rp 1 juta, (janin berusia) dua bulan (tarif) Rp 2 juta, (janin berusia) tiga bulan (tarif) Rp 3 juta, (janin berusia) di atas itu (di atas tiga bulan, tarifnya) Rp 4 juta-Rp 15 juta," ujar dia.
Atas perbuatannya, ketiga tersangka itu dikenakan Pasal 83 juncto Pasal 64 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan/atau Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan/atau Pasal 194 juncto Pasal 75 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juncto Pasal 55, 56 KUHP. Dengan ancaman hukuman penjara di atas 10 tahun.
Ketua Komnas Perlindungan Anak (KPAI) Arist Merdeka Sirait mengapreasiasi langkah polisi yang mengungkap klinik aborsi ilegal tersebut. Arist menuturkan, tindakan itu juga dapat dikenakan undang-undang perlindungan anak tentang aborsi. Sebab, kata dia, perlindungan terhadap anak di bawah umur 18 tahun sudah berlaku sejak berada di janin.
"Dia punya hak hidup, selain rampas hak hidup secara paksa, saya juga titipkan UU perlindungan anak bisa dikenakan, karena sejak di kandungan sekalipun anak-anak punya hak untuk hidup. Ini aborsi menghilangkan secara paksa hak hidup seseorang," kata Arist.
Di sisi lain, Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinkes DKI Jakarta, Dokter Weningtyas, menyebut, klinik tersebut tidak memiliki izin. Selain itu, dokter dan bidan yang bekerja di sana tidak memiliki tanda registrasi sebagai tenaga kesehatan.
Weningtyas menjelaskan, dalam UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2004, setiap orang dilarang untuk melakukan aborsi. Dia menyebut, seseorang dapat melakukan aborsi jika terjadi kegawatdaruratan medis.
Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Reproduksi menyatakan, aborsi diperbolehkan dengan persyaratan ketat dan harus di bawah enam pekan. Bila korban pemerkosaan harus di bawah empat pekan. "Kegawatdaruratan medis juga ada syarat. Misal bahayakan kesehatan dan nyawa ibu dan ada cacat bawaan yang sulit diperbaiki, sehingga menyulitkan janin saat hidup, ada tim yang tentukan itu," kata dia.