Pertanyaan:
Dalam menjalankan ibadah shalat berjamaah kadang saya masih bingung untuk mengikuti gerakan shalat berjamaah, untuk itu mohon penjelasan dari Majelis Tarjih berkenaan dengan thaharah dan shalat berjamaah sebagai berikut: Apabila telah berwudlu kemudian buang angin, apakah perlu bersuci? Bagaimana hukum membaca Alfatihah bagi makmum?
Pengirim Hamdan Sukri, Medan, Sumatera Utara
(disidangkan pada Jum’at, 21 Dzulhijjah 1437 H/23 September 2016 M)
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan saudara, berikut ini diuraikan jawabannya.
الإِسْتِنْجَاءُ : إِزَالَةُ النَّجَاسَةِ وَتَطْهِيرُ مَوْضِيعِهَا مِنَ البَدَنِ
Menghilangkan najis dan mensucikan tempat keluarnya najis dari tubuh. (Fiqh as-Sunnah jilid I hal. 27)
Pengertian istinja dalam Ensiklopedia Hukum Islam adalah menghilangkan kotoran yang keluar dari perut. Menghilangkan najis dari tempat keluarnya yang mengotori tubuh manusia dengan air atau benda lain. Kotoran tersebut bisa berbentuk tinja, air kencing, mazi (lendir yang keluar dari kemaluan saat nafsu seseorang bergairah), dan wadi (lendir yang keluar setelah buang air kencing). (Ensiklopedia Hukum Islam hal. 774)
Berkaitan dengan sebab istinja, diterangkan dalam hadis berikut:
حدَّثَنَا أَبُوْ الوَالِدِ هِشَامِ بْنِ عَبْدُ المَالِكِ, قَال: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ, عَنْ اَبي مُعَاذٍ- وَاِسْمُهُ عَطَاءٌ بْنُ اَبِي مَيْمُوْنَةَ – قَالَ: سَمِعْتُ اَنَسٍ بنِ مَالِكٍ يَقُوْلُ: كَانَ النَبِي صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اِذَا خَرَجَ لِحَاجَتِهِ أَجِيْءُ اَنَا وَ غُلَامٌ معَنَا اِدَاوَةُ مِن مَاءٍ ؛ يَعْنِي يَسْتَنْجِيْ بِهِ [رواه البخاري].
“Telah menceritakan kepada kami Abu al-Walid Hisyam ibn Abdul Malik, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abi Mu’adz nama aslinya Atha’ ibn Abi Maimunah, (diriwayatkan) ia berkata: Aku mendengar Anas bin Malik berkata: Nabi saw apabila keluar untuk buang hajat maka beliau mendatangiku dan seorang anak kecil dengan membawa satu ember air, dan Rasulullah beristinja dengan air itu” [HR. al-Bukhari].
Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa istinja itu wajib bagi seseorang setelah buang hajat (buang air) baik buang air besar maupun buang air kecil. Dalam pada itu dalam hadis ini tidak disebutkan kewajiban beristinja’ bagi orang yang buang angin. Buang angin (kentut), hanya menyebabkan batalnya wudlu seseorang. Hal ini didasarkan pada hadis berikut ini:
وَ عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا وَجَدَ اَحَدُكُم فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَاَشْكَلَ عَلَيْهِ اَخْرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ اَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ المَسْجِدِ حَتَّي يَسْمَعَ صَوْتًا اَوْ يَجِدَ رِيْحًا [رواه مسلم].
“Dari Abu Hurairah r.a, (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila seseorang di antara kamu merasakan sesuatu dalam perutnya, kemudian ia ragu-ragu apakah ia mengeluarkan sesuatu (kentut) atau tidak, janganlah sekali-kali ia keluar dari masjid kecuali ia mendengar suara atau mencium baunya” [HR. Muslim].
Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang telah yakin buang angin (kentut), maka jika hendak melaksanakan shalat, wajib mengulangi wudlunya tanpa perlu beristinja, kecuali ketika buang angin itu ada sesuatu kotoran yang keluar.
—
Mengenai bacaan al-Fatihah bagi makmum, diperoleh beberapa nash antara lain:
مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَةُ الأِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ [رواه الداروقطني].
“Barangsiapa (shalat) mengikuti imam, maka bacaan imam itu (menjadi) bacaannya” [HR ad-Daruquthni].
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ [رواه البخاري و مسلم].
“Tidak (sah) shalat orang yang tidak membaca al-Fatihah” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
لَا تَقْرَؤُا بِشَيْءٍ مِنْ القُرْأَنِ إِذَا جَهَرْتُ إِلَّا بِأُمِّ القُرْآنِ [رواه أبو داود].
“Jangan membaca apapun dari al-Qur’an bila saya membaca dengan jahr (nyaring) kecuali membaca al-Fatihah” [HR. Abu Dawud].
إنّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا وَإِذَا قَرَأَفَأَنْصِتُوْا [رواه أحمد].
“Imam itu dijadikan sebagai panutan, bila ia bertakbir bertakbirlah kamu, dan bila ia membaca diamlah kamu” [HR. Ahmad].
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ [الأعراف (٧): ٢٠٤]
“Dan apabila dibacakan al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” [QS. al-A‘raf (7): 204].
Hadis kedua menerangkan bahwa makmum perlu membaca al-Fatihah. Hadis keempat dan QS. al-A‘raf ayat 204 menerangkan bila imam membaca ayat al-Qur’an, makmum harus diam dan mendengarkan. Jadi ada dua ketentuan yang berbeda, yaitu satu pihak makmum wajib membaca al-Fatihah, satu pihak tidak wajib. Dalam ilmu ushul fiqh apabila ada ketentuan hukum yang saling berbeda dalam satu kasus, maka bisa diselesaikan dengan al-jam’u wat-taufiq maupun tarjih.
a. Al-Jam’u wat-taufiq (kompromi), yaitu mengkompromikan dalil-dalil yang ada. Apabila cara ini diterapkan pada kasus makmum membaca al-Fatihah, hasilnya sebagai berikut:
b. Tarjih, yaitu memilih dalil yang terkuat di antara dalil-dalil yang ada. Yang terkuat itulah yang diamalkan.
Dalam hal makmum membaca al-Fatihah, ada beberapa hadis yang menerangkan, baik yang mewajibkan maupun yang tidak, sehingga hadis yang satu memperkuat hadis yang lain. Hadis-hadis tersebut sebenarnya tidak bertentangan, dan masih bisa dikompromikan sebagaimana telah diterangkan di atas. Dengan demikian digunakan al-jam’u wat-taufiq sehingga makmum tetap membaca al-Fatihah ketika imam membaca al-Fatihah, tapi makmum membacanya dengan sirr. Hal ini sesuai dengan hadis berikut:
وَلَّمَّا رَوَاهُ ابنُ حِبَّانَ مِنْ حَدِيْثِ اَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اَتَقْرَءُوْنَ فِي صَلَاتِكُمْ خَلْفَ الاِمَامِ وَ الاِمَاُم يَقْرَءُ فَلَا تَفْعَلُوا وَلْيَقْرَءْ أَحَدُكُمْ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ فِيْ نَفْسِهِ [رواه أحمد].
“Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Anas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apakah kamu membaca dalam shalatmu di belakang imammu padahal imam itu membaca? Janganlah kamu mengerjakannya, hendaklah seseorang membaca al-Fatihah pada dirinya (dengan suara rendah yang didengar sendiri)” [HR Ahmad].
—
Bacaan sami’allahu liman hamidah, fungsinya sama dengan takbir intiqal (berpindah dari rukun ke rukun lain) yang harus dibaca ketika bangkit dari rukuk, baik apabila menjadi imam atau shalat munfarid (sendirian). Adapun makmum, tidak perlu membaca bacaan tersebut melainkan cukup membaca rabbana wa lakal-hamdu. Hal ini seperti disebutkan dalam hadis:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِذَا قَالَ لِإمَامُ :سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُوْلُوْا : اَللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ. فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلُ المَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ [رواه مسلم].
“Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw bersabda: Apabila imam mengucapkan “sami’allahu liman hamidah” maka ucapkanlah “allahumma rabbanaa lakal-hamdu”. Sungguh barangsiapa ucapannya bersamaan dengan ucapan malaikat, maka diampunilah dosanya yang telah lampau” [HR. Muslim].
Disebutkan juga dalam hadis:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وإذَا رَكَع‘ فَارْكَعُوا وَإذَا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا: َربَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ؛, وَإذَا سَجَدَ فَسْجُدُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُوْنَ [رواه البخارى].
“Dari Abu Huraurah r.a (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti maka apabila ia bertakbir, hendaklah kamu bertakbir, apabila ia rukuk hendaklah kamu rukuk, apabila ia mengucapkan “sami‘allahu liman hamidah” hendaklah kamu mengucapkan “rabbana wa lakal-hamdu” apabila ia bersujud hendaklah kamu bersujud dan apabila ia bershalat sambil duduk, maka shalat kamu sekalian sambil duduk” [HR. al-Bukhari].
—
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا قَعَدَ لِلتَّشَهُّدِ وَضَعَ يَدَهُ اليُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ اليُسْرَى وَاليُمْنَى عَلَى اليُمْنَى وَأَشَارَ بِأَصْبَعِهِ السَبَابَةِ. وَفِيْ رِوَايَةٍ وَقَبِضَ أَصَابِعَهُ كُلَّهَا, وَأَشَارَ بِالَّتِي تَلَى الإِبْهَامَ [رواه مسلم].
“Dari Ibnu Umar r.a. (diriwayatkan) bahwa Nabi saw apabila duduk untuk tasyahud meletakkan tangan kiri pada lutut kirinya, dan yang kanan pada lutut kanannya serta mengacungkan telunjuknya. Dan menurut riwayat yang lain: Nabi mengepalkan semua jari-jarinya dan mengacungkan telunjuknya” [HR. Muslim].
عَنْ زُبَيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا جَلَسَ فِى التَشَهُّدِ وَضَعَ يَدَهُ اليُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ اليُمْنَى وَيَدَهُ اليُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ اليُسْرَى وَأَشَارَ بِالسَّبَابَةِ وَلَمْ يُجَاوِزْ بَصَرُهُ إِشَارَتَهُ [رواه أحمد و مسلم والنسائى].
“Dari Zubair r.a. (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw pernah apabila duduk untuk tasyahud meletakkan tangan kanan pada pahanya yang kanan, dan tangan kiri pada pahanya yang kiri dan mengacungkan telunjuknya, dan pandangannya tidak melampaui isyarat tersebut” [HR. Ahmad, Muslim dan an-Nasa’i].
Hadis-hadis di atas menerangkan bahwa Nabi saw membaca tasyahud dan mengacungkan telunjuknya, serta tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa mengacungkannya itu pada lafal tertentu (misalnya pada lafal “illa Allah”). Oleh karena itu, menurut pengertian zahirnya (eksplisit), mengacungkan telunjuk itu dimulai sejak mulai tasyahud.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Artikel ini dimuat di Majalah SM Edisi 20-21 Tahun 2017