REPUBLIKA.CO.ID, SOLO— Seorang mantan napiter penulis buku "Hijrah dari Radikal Kepada Moderat", Haris Amir Falahmenyebutkan radikalisme tidak boleh dialamatkan kepada agama manapun, termasuk padaagama Islam.
"Kata radikalisme menurut pandangan saya yang aslinya bukan dari ajaran Islam," kata Haris Amir Falah mantan Napiter dalam acara Bedah Bukunya berjudul ":Hijrah dari Radikal kepada Moderat:, di Auditorium Muhammad Djazman Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Selasa (18/2).
Haris Amir Falah merupakan mantan napiter yang ditangkap aparat keamanan saat latihan militer di Aceh pada 2010 , dan kemudian divonis 4,5 tahun.
Dalam acara bedah bukunya, berisi sebuah rekaman perbuatan pemikiran dan sikap penulis yang dituangkan dalam sebuah tulisan ringkas dengan segala keterbatasan.
"Saya mencoba menulis perubahan pemikiran dan sikap saya tentang ajaran Islam, yakni dari paham yang ekstrem dan radikal menjadi moderat," kata Haris.
Menurut Haris, judul buku Hijrah dari Radikal ke Moderat memang masih memancing kontroversi ada sebagian orang mengatakan kalimat radikal dan moderat ini, masih banyak diperdebatkan.
"Sebenarnya dari buku yang ditulis berjudul dari radikal ke moderat ini, menceritakan tentang perjalanan hidup saya sepanjang mempelajari tentang Islam kemudian berinteraksi dengan berbagai organisasi gerakan yang ada di Indonesia," katanya.
Bahkan, kata dia, di dalam buku tersebut rekam jejak ditulis semenjak duduk di bangku SMA kelas II sekitar 1984 hingga sekarang ini.
Dirinya menulis buku ini, sebenarnya jauh sebelum muncul kembali isu soal radikalisme, sehingga sebagai sebuah pengalaman pribadi yang dituangkan dalam tulisan.
"Pada buku ini, yang saya pahami dengan radikalisme adalah paham keagamaan yang berideologi kekerasan, kemudian terlalu keras memahami agama, dan juga berlebih-lebihkan yang akhirnya melahirkan intoleransi di dalam beragama baik intoleransi sesama kaum Muslimin maupun terhadap orang-orang di luar Islam. Bahkan, kadang juga pada akhirnya akan melahirkan aksi-aksi teror," katanya.
Dia mengatakan, tentang moderat yaitu sikap teguh memegang Islam, dan saat yang bersamaan menghormati segala perbedaan, serta akhirnya melahirkan sikap yang santun.
Jadi menempatkan diri menjadi seorang moderat itu, tidak sama dirinya menggeser diri dari radikal kepada liberal. Moderat yang dimaksud antara antara radikal dan liberal.
"Seorang yang moderat itu, bukan berarti saya mengatakan semua agama itu, sama atau semua agama itu, benar. Saya punya prinsip bahwa yang benar itu, adalah Islam, tetapi membangun toleransi memberikan hak hidup kepada agama yang lain, sesuai dengan keyakinan masing-masing," katanya.
Penulis Haris Amir Falah yang lahir di Jakarta pernah menjabat ketua Lajnah Perwakilan Jakarta, Majelis Mujahidin Indonesia 2001-2008, Amin Jamaah Ansharut Tahuhid (JAT) 2008-2010, Amin Jamaah Ansharut Syariah (JAS) Jakarta 2013-2016, Pembina Lembaga Dawah Thoriquna 2017 hingga sekarang Pendidik di SMP Darul Ma'arif Jakarta, SMA Negeri 46 Jakarta pernah kuliah di Universitas Muhammadiyah Cirendeu Ciputat Tangerang.
Narasumber lainnya, Dr Amir Mahmud selaku pengamat Pergerakan Islam mengatakan radikal dinilai ada tiga kategori yakni dalam bentuk lisan atau ujaran kebencian. Hal ini, sangat berpotensi sangat radikal. Kedua radikal dalam bentuk fisik yakni mereka tidak suka kemudian melakukan kekerasan, dan ketiga bentuk ekstrem, yakni mereka yang ingin mengubah suatu tatanan nilai bangsa manapun itu radikalisme.
"Radikalisme itu, bukan Islam. Islam bukan radikalisme. Namun, radikalisme itu, seseorang atau kelompok yang melakukan paham radikal," kata Amir Mahmud.
Pada acara bedah buku Hijrah dari Radikal Kepada Moderat, juga menghadirkan narasumber lain, antara lain Dr Mu'inudinillah Basri (Ketua Dewan Syariah Kota Surakarta), dan Prof Jamhari Makruf (Direktur Pasca-Sarjana UIN Jakarta).