REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menilai pencabutan status negara berkembang Indonesia dari United States Trade Representative (USTR) tidak akan berpengaruh terhadap fasililitas Generalized System of Preference (GSP). GSP merupakan program pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk mendorong pembangunan ekonomi negara-negara berkembang yang terdaftar, termasuk Indonesia dengan membebaskan bea masuk ribuan produk mereka ke AS.
"Pembicaraan dengan Lightizer (Robert Lightizer dari USTR) mengenai GSP, itu setelah sekian belas tahun telah selesai. Nanti 2 April, tim dari USTR akan bertemu dengan tim dari Kementan dan Kemendag untuk menyelesaikan secara mendetail. Kita bisa mendapat fasilitas kira-kira sebesar 2,4 miliar dolar AS, dan ini akan membuat kita tetap kompetitif," ujar Luhut di Jakarta, Selasa (25/2).
Luhut menjelaskan pemerintah berencana akan menaikkan level GSP menjadi Limited Free Agreement. Luhut menilai target pemerintah memang baru menyasar pada Limited Free Agreement dan belum pada tahap Free Trade Agreement.
"Karena kalau sampai level itu, akan dapat persetujuan cukup panjang, jadi target kita akan ke situ," ucap Luhut.
Luhut menegaskan isu terkait Indonesia yang tidak lagi dikategorikan negara berkembang adalah dua hal berbeda. Luhut menyebut tidak hanya Indonesia, melainkan 25 negara lain yang juga telah dicabut status negara berkembang Indonesia oleh United States Trade Representative (USTR).
"Termasuk salah satunya Indonesia, akan tetapi GSP itu kesepakatan tersendiri lagi, jadi kalau ada yang bilang ada strategi licik segala macam, itu tidak benar," kata Luhut menambahkan.