REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati meminta jajaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lebih hati-hati menyampaikan pernyataan mengenai kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Ia menyoroti pernyataan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso yang menyebut kasus Jiwasraya hanya berdampak kecil lantaran aset perusahaan ini hanya berkisar satu persen dibandingkan total aset industri asuransi nasional.
"Konsekuensi penyataan itu banyak. Jadi pejabat tidak bisa dengan mudah kasih pernyataan seperti itu, terlebih ini lembaga negara," ujar Enny kepada awak media di Jakarta, Kamis (27/2).
Enny menilai apabila kasus Jiwasraya tidak berdampak sistemik terhadap industri asuransi nasional, mestinya permasalahan gagal bayar Jiwasraya tidak menjadi perhatian serius pemerintah. Dengan begitu, kata Enny, pemerintah dan jajaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun tidak perlu mengeluarkan wacana PMN untuk Jiwasraya dan membentuk tiga panitia kerja (Panja).
"Tapi nyatanya beda, malahan rencananya kan mau ada bailout yang nilainya belasan triliun. Jadi buat apa kalau ternyata kerugiannya kecil karena alasannya asetnya hanya satu persen dari total aset industri asuransi," ucap Enny.
Kementerian Keuangan dan BUMN tengah menyiapkan opsi pemberian PMN sebesar Rp 15 triliun, meski cara ini merupakan opsi terakhir atas upaya penyelamatan Jiwasraya.
Enny menilai, dengan besarnya nilai PMN itu artinya persoalan gagal bayar Jiwasraya harus segera diselesaikan karena nyatanya memiliki dampak yang besar. Untuk itu dibutuhkan koordinasi yang padu antara pemerintah dan regulator, bukan malah mengecilkan masalah seperti yang diutarakan jajaran otoritas.
"Kalau menurut kajian OJK ternyata dampaknya kecil, DPR tidak perlu dong buat Panja dan harusnya Jiwasraya bisa dong selesaikan kerugiannya cepat kepada nasabah tanpa berlarut-larut," kata Enny.
Enny menyampaikan empat masalah utama yang menjadi faktor Jiwasraya mengalami gagal bayar terhadap hak nasabah.
Pertama, kesalahan pembentukkan harga (mispricing) di dalam penerbitan produk tradisional berskema garansi jangka panjang dengan bunga 14 persen net dan produk JS Savings Plan yang memiliki guaranteed return di antara 9-13 persen.
Kedua, lemahnya prinsip kehati-hatian dan pengawasan dalam berinvestasi di mana Jiwasraya banyak melakukan investasi-investasi pada high risk asset untuk mengejar high return.
Ketiga, adanya rekayasa laporan keuangan (window dressing) demi menutupi kondisi defisit ekuitas Jiwasraya yang sebenarnya, akibat kerugian atas investasi dan pelanggaran prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
"Yang aneh, rekayasa laporan keuangan ini berjalan selama bertahun-tahun tanpa disadari oleh pengawas meskipun tiap tiga bulan sekali perusahaan asuransi wajib melaporkannya," ucap Enny.
Keempat, adanya tekanan likuiditas dari produk Savings Plan lantaran nasabah mulai menarik investasinya karena mulai menaruh curiga dengan imbal hasil yang dijanjikan.